Cak Nun: Timnas Junior Saja Bisa
jpnn.com, SAMARINDA - Muhammad Ainun Nadjib alis Cak Nun dikenal sebagai sosok yang unik. Rambut gondrong, ubanan, dan kumis tipis putih. Punya penggemar fanatik.
Dikenal juga sebagai seorang seniman, budayawan, penyair, dan pemikir. Gagasannya banyak dituangkan ke dalam buku.
Dia juga satu dari sekian tokoh yang dipanggil ke Istana Merdeka. Memberikan masukan sebelum Presiden Soeharto turun dari jabatannya.
Nama Cak Nun tak asing di telinga seantero masyarakat Indonesia. Dari satu kota, ke kota lain, pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 itu mengaku terus belajar. Pada 1980-an, Cak Nun menemani Syafril Teha Noer, rekannya semasa di Jogjakarta yang kini menjabat Ketua Dewan Redaksi Kaltim Post (Jawa Pos Group).
Pria dengan segudang karya itu menemani kepindahan Syafril ke Kota Tepian. Setelah lama tak bersua dengan ibu kota Kaltim, Cak Nun kembali. “Dulu tidak begini, Samarinda sudah banyak berubah rupanya,” ujarnya sembari tersenyum lebar.
Dia menegaskan, kehadirannya bukan dalam urusan politik. “Saya ini lebih senang ngurusin tanah dan manusianya,” sambung pria 65 tahun tersebut. Ketika bertemu dengan awak Kaltim Post Minggu (28/10), Cak Nun bercerita, Indonesia masih bertransformasi.
Dia menganggap, sampai hari ini, Indonesia belum matang membahas detail tentang perubahan. Seperti filosofi Jawa, deso mowo coro, negoro mowo toto.
“Seharusnya, negara itu meneruskan tatanan masyarakat desa, baru menata negara. Karena negara sudah mengadopsi beberapa dari Amerika Serikat, Jepang, dan negara lainnya, makanya susah transformasi,” ungkap Cak Nun.