Capai Puncak 3.700 Meter, Tertinggi di Ajang Balap Dunia
Mengingat panjangnya tanjakan ini, saya dan Wawan (sapaan Cipto S. Kurniawan) memilih untuk menghemat diri sejak awal. Apalagi, setelah Independence Pass, kami masih harus mengayuh pedal lebih dari 100 km.
Saya terus memperhatikan layar Garmin (komputer sepeda), memastikan detak jantung saya tidak melonjak di atas 150 per menit, dan putaran kaki saya di kisaran RPM yang konstan moderate (tidak terlalu cepat untuk menjaga detak jantung).
Sun Hin Tjendra, yang memang dikenal sebagai orang terkuat di komunitas saya di Surabaya, dengan mantap melaju mengikuti bule-bule Rapha mendaki dengan cepat.
Prajna Murdaya perlu diacungi dua jempol. Kaki dan pinggul cedera dan luka karena sempat terjatuh dua hari sebelumnya, dia tetap bertekad menyelesaikan etape hari itu.
Di tengah-tengah tanjakan, saya dan Wawan (kami terus berdua) sempat berhenti untuk foto-foto sekaligus mengisi "bahan bakar". Pagi itu, kami tidak makan banyak, supaya perut tidak berat di tanjakan awal. Triknya adalah ngemil sedikit-sedikit.
Kami diberi sangu rice cake (ketan) berisi cokelat atau yang lain, yang dibungkus kecil-kecil dengan aluminium foil. Makanan itu disiapkan Skratch Labs, yang merupakan supplier makanan para pembalap.
Pemandangan memang luar biasa indah. Perlahan, semakin terlihat puncak perbukitan tinggi di sekeliling semakin gundul. Di ketinggian itu, memang muncul "tree lines". Maksudnya, garis ketinggian di mana pohon tidak bisa lagi tumbuh.
Ada begitu banyak cyclist yang menanjak hari itu. Semua ingin mencapai puncak untuk menonton para pembalap USA Pro Challenge melintas. Suasana sangat meriah. Mereka yang sudah camping di pinggir jalan terus membunyikan lonceng sapi mini, atau meneriakkan ucapan semangat kepada kami. Rasanya seperti ketika menjajal rute Tour de France tahun lalu!