Cara Halus Ibu Menteri Tolak Tawaran Australia
jpnn.com - JAKARTA - Jadwal pelaksanaan eksekusi mati yang tidak jelas menuai sorotan. Mulai muncul keraguan terhadap ketegasan pemerintah Indonesia.
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno LP Marsudi terus menegaskan bahwa pihaknya sudah menolak tawaran Menlu Australia untuk penukaran tahanan.
Kemarin (6/3), dia menjelaskan garis besar pembicaraan yang dilakukan pada Selasa 3 Maret lalu. Dalam pembicaraan tersebut, memang Bishop sempat menawarkan pilihan tersebut.
"Saat itu saya sedang melakukan kunjungan kerja ke Selandia Baru. Menlu Australia menawarkan untuk melakukan pertukaran narapidana Australia yang ada di Indonesia dengan WNI yang ditahan di sana," ujarnya.
Narapidana Australia yang dimaksud sudah tentu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang baru saja dipindahkan ke Nusakambangan pada 4 Maret 2015.
Mendengar pembicaraan tersebut, dia pun langsung merespon dengan penolakan secara harus. Menurutnya, Indonesia memang tak mempunyai undang-undang atau regulasi yang memungkinkan penukaran tahanan. Namun, Bishop meminta untuk setidaknya Presiden Jokowi mengetahui tawaran tersebut.
"Menlu Australia bertanya, apakah permintaan mengenai pertukaran narapidana dapat disampaikan kepada Presiden. Sebagai pejabat satu level, tentu saya meneruskan tawaran tersebut kepada Presiden. Tawaran itu langsung saya laporkan setelah pembicaraan selesai. Tapi, responnya masih sama," ungkapnya.
Hal tersebut juga didukung oleh Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq. Menurutnya, sikap pemerintah sudah jelas dalam penolakan upaya untuk membengkokkan hukum. Karena itu, dia tak ingin bereaksi kepada manuver yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
"Memang dibutuhkan adanya kepastian kapan eksekusi akan dilakukan. Sepanjang tidak pasti pemerintah Australia akan terus melakukan upaya-upaya tersebut. Langkah ini kalau dilihat dari perspektif berbeda memang wajar. Sebuah pemerintah ingin melindungi warga negaranya. Jadi, kalau diperpanjang Indonesia akan terus tertekan," ungkapnya.
Sementara itu, Guru Besar Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Teuku Rezasyah mengatakan, saat ini posisi pemerintah Indonesia memang sedang tertekan.
Hal tersebut karena banyaknya pemberitaan media yang lebih berpihak kepada pemerintah Australia. Manuver tersebut, entah sengaja ataupun tak disengaja, tak bisa dipungkiri dampaknya.
"Secara diplomatis, Indonesia sudah menang dan tak bisa diganggu gugat oleh Australia. Tapi, saat ini pertarungannya meluas ke perang informasi di media. Kalau pertarungan ini, jelas Indonesia kalah karena jaringan media Australia jauh lebih mendunia," terangnya.
Dalam pengamatannya, Indonesia saat ini mempunyai citra sebagai negara yang tak punya rasa humanitas karena berencana mengeksusi seorang pendeta dan seniman. Mereka melupakan fakta bahwa dua warga negara Australia itu adalah gembong narkoba yang terbukti salah.
"Saat Amrozi dieksekusi mati, mereka mendukung dengan menyatakan bahwa upaya itu adalah penegakan hukum. Tapi, sekarang menolak karena atas dasar kemanusiaan. Padahal, teroris dan narkoba sama-sama membunuh. Bahkan, boleh dibilang di Indonesia sudah terjadi narcoterorism (terorsime melalui narkoba). Kalau bilang kemanusiaan, bagaimana dasar kemanusiaan kepada korban narkoba sampai sekarang," ungkapnya.
Karena itu, dia berharap pemerintah lebih terbuka dalam mengeluarkan langkah-langkah diplomatisnya dengan Australia. Jika tidak, masyarakat Indonesia sendiri bisa salah paham terhadap isu-isu yang tersebar di publik. Hal tersebut diakui bisa membuat tekanan terhadap pemerintah jauh lebih kuat baik dari luar maupun dalam negeri.
"Kalau sudah berada di Nusakambangan itu berarti eksekusi sudah dekat. Bu Retno pun sudah menyatakan keputusan terakhir. Jadi mustahil dia menyanggah keputusan presiden dalam sebuah percakapan telepon. Namun, memang ada etika diplomat untuk menyampaikan aspirasi negara lain. Kalau tak diklarifikasi, publik akan memandang pemerintah terpecah," imbuhnya.
Dia pun mendukung usulan agar pemerintah segera menetapkan tanggal eksekusi dan menepati rencana tersebut. Menurutnya, penundaan eksekui bakal membuka ruang gerak bagi pemerintah Australia untuk terus bermanuver. Hal tersebut bisa menjadi pukulan berat bagi pemerintah Indonesia.
"Coba pikirkan kalau pemerintah Australia membicarakan langsung ke narapidana Indonesia. Nanti narapidana itu sendiri yang meminta pemerintah menyetujui proposal itu. Kalau gagal, bisa saja yang disebut tiga narapidana menjadi 30 narapidana. Yang jelas, dari pengamatan saya sampai sekarang, Australia tak ada tanda menyerah," jelasnya.
Sementara itu, Julie Bishop mengaku bakal terus melakukan upaya lobi. Menurutnya, pernyataan presiden bahwa eksekusi tidak akan dilakukan minggu ini memberikan mereka waktu lagi untuk menekankan isu-isu yang ada. Contohnya, dugaan main mata hakim kasus Myuran dan Andrew yang telah ditujukan ke Komisi Yudisial.
"Kami mencari bukan hanya langkah menunda tapi selamanya menghindarkan eksekusi. Kami juga menyampaikan keluhan terhadap perlakukan yang diterima oleh dua narapidana di foto pemindahan. Seakan-akan itu adalah publisitas bagi oknum-oknum militer," jelasnya. (bil)