Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan
Jumat, 03 April 2009 – 21:20 WIB
Berbeda dengan Pemilu 1955, Pemilu pertama di Indonesia yang masih memiliki tokoh bangsa sekaligus politikus dari generasi kedua. Ada M. Natsir dan Mohamad Roem dari Masyumi, DN Aidit dari PKI, Hasyim Ashari dari NU, bahkan Burhanuddin Harahap, Sjahrir dan berbagai tokoh yang tak diragukan lagi kualitasnya. Barangkali, hanya Bung Karno dan Bung Hatta yang tak terjun ke pentas kampanye.
Mereka umumnya adalah generasi terdidik yang diproduk oleh pengaruh politik etis Belanda yang memungkinkan kaum kaum pribumi mengecap pendidikan barat yang belakangan menjadi pesemaian intelektual baru Indonesia. Sejahat-licik apapun Belanda, produk pendidikan mereka telah menjadi embrional dari kawah candradimuka yang melahirkan pemimpin Indonesia.
Pendidikan Belanda juga lebih mengutamakan intelektualisme ketimbang menjadi kaum pedagang. Tak heran jika produk pendidikan saat itu telah melahirkan pemimpin yang tidak rakus kepada materi. Dari iklim seperti itulah muncul pemimpin yang cerdas, intelek, nasionalistis dan merakyat. Bung Hatta dan Sjahrir sempat studi di Eropa sehingga pikiran modern pun berembus ke Indonesia.