Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan

Jumat, 03 April 2009 – 21:20 WIB
Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan - JPNN.COM

Tokoh bermutu masih berkampanye pada Pemilu 1971. Ada Isnaeni dari PNI, KH Saichu dan Idham Chalid dari NU, Kasman Singadimejo dan Prawoto dari Parmusi, Adam Malik dari Partai Murba. Walau harus dicatat bahwa “bulldozer” Mendagri Amir Mahmud yang memenangkan Golkar secara tidak fair pun menjadi fenomena Pemilu di masa Orde Baru hingga 1997 lalu. Maklum, kala itu dikenal istilah ABG, ABRI-Birokrasi dan Golkar, sebuah trio politik rezim Orde Baru.

Berbeda dengan Pemilu 1955, Pemilu pertama di Indonesia yang masih memiliki tokoh bangsa sekaligus politikus dari generasi kedua. Ada M. Natsir dan Mohamad Roem dari Masyumi, DN Aidit dari PKI, Hasyim Ashari dari NU, bahkan Burhanuddin Harahap, Sjahrir dan berbagai tokoh yang tak diragukan lagi kualitasnya. Barangkali, hanya Bung Karno dan Bung Hatta yang tak terjun ke pentas kampanye.

Mereka umumnya adalah generasi terdidik yang diproduk oleh pengaruh politik etis Belanda yang memungkinkan kaum kaum pribumi mengecap pendidikan barat yang belakangan menjadi pesemaian intelektual baru Indonesia. Sejahat-licik apapun Belanda, produk pendidikan mereka telah menjadi embrional dari kawah candradimuka yang melahirkan pemimpin Indonesia.

Pendidikan Belanda juga lebih mengutamakan intelektualisme ketimbang menjadi kaum pedagang. Tak heran jika produk pendidikan saat itu telah melahirkan pemimpin yang tidak rakus kepada materi. Dari iklim seperti itulah muncul pemimpin yang cerdas, intelek, nasionalistis dan merakyat. Bung Hatta dan Sjahrir sempat studi di Eropa sehingga pikiran modern pun berembus ke Indonesia.

Kampanye PEMILU 2009 yang dimobilisasi, dan bukan partisipasi, sebentar lagi tinggal kenangan. Tidak ada lagi arus lalulintas yang macet dan menjengkelkan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News