Chano, Bocah asal Ende Harumkan Indonesia di Kancah Dunia
Dalam keseharian, demikian tutur Linda, Chano sejak kecil tidak lepas dari Harmonika. Ke mana-mana alat musik tiup itu selalu dibawanya. Talenta seni terlihat manakala Chano kecil tengah menonton tayangan televis khususnya acara musik.
"Dia pasti berdiri dekat televisi untuk memperhatikan. Orang yang sedang main piano atau keyboard. Meski kita larang karena akan membahayakan kesehatan mata, namun dia tidak menggubrisnya," kenang Ermelinda.
Darah seni Chano kata Ermelinda dari sang ayah yang adalah seorang pemusik. Sejak masa kuliah di Jurusan Tenik Informatika-Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, sang ayah sering tampil dan mengisi acara baik di dalam maupun luar kampus.
Ayahnya yang tamatan Sekolah Menengah Seminari Mataloko ini, kemudian mengikuti kuliah di ISI Jogjakarta namun hanya sampai semester III. Keluarga tidak mendukung karena takut masa depan anak mereka suram jika hidup sebagai musikus. Karena itu dia melanjutkan kuliah di Unwira Kupang.
Darah musik sang ayah Kristo diwariskan ke putra sulungnya Canho. Demikian cerita Ermelinda yang mengaku melihat Chano selalu menggerakkan tangan dan kaki layaknya orang tengah bermain piano ketika mendengarkan lagu-lagu atau menonton tayangan TV acara musik.
Cerita keluarga ini, selepas kuliah di Kupang, Canho dan keluarga kembali ke Ende. Di Ende, ayah dan ibunya bekerja di Pemerintah Kabupaten Ende hingga sekarang ini. Sang Ayah bekerja di kelurahan Lokoboko kecamatan Ndona. Sedangkan ibunya di Sekretariat Daerah sebagai Sekretaris Bupati Ende.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang abdi negara, Kristo Djamru membuka lembaga kursus musik yang diberi nama Affrettando Music Course.
Kehadiran kursus ini, setidaknya bukan untuk menjalankan bisnis namun hanya menjadi media penyaluran hobinya di bidang musik. Tentu juga untuk mengasah anak-anaknya dalam bermusik.