Childfree & Resesi Seks
Oleh Dhimam Abror DjuraidMenurut laman The Atlantic, saat ini alasan terbesar orang-orang memilih childfree ialah karena kondisi pandemi yang tak kunjung membaik. Risiko PHK, masalah finansial, layanan kesehatan yang buruk, serta terbatasnya sarana dan fasilitas publik menjadi alasan pendukung bagi beberapa calon orang tua untuk mengambil keputusan childfree.
Sebagai sebuah pilihan hidup, childfree tentu memiliki dampak positif dan negatifnya. Salah satu yang paling mungkin terjadi adalah stigma negatif dari masyarakat bahkan keluarga sendiri.
Stigma tersebut membuka kesempatan timbulnya tekanan sosial bagi pasangan dengan keputusan childfree. Dari sisi psikologis, keputusan childfree juga bisa menimbulkan beberapa masalah dalam pernikahan.
Faktor kesepian yang mungkin terjadi di masa datang, bisa memicu konflik berkepanjangan dengan pasangan. Jika tidak diatasi, perceraian pun bisa saja terjadi.
Namun terlepas dari itu semua, childfree tetaplah pilihan yang bebas diambil oleh siapapun, tanpa terkecuali. Mempertimbangkan dampak dan risiko jangka panjang bisa menjadi pilihan yang tepat sebelum mengambil keputusan ini.
Kondisi ekonomi yang makin ketat serta dibarengi biaya pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang kian mahal tidak memungkinkan pasangan muda untuk memunyai banyak anak. Banyak pasangan suami –istri sama-sama bekerja untuk memenuhi hajat hidup, dan itu pun hanya cukup untuk menghidupi dua anak.
Di negara-negara maju, banyak pasangan yang menikah dan sama-sama bekerja tapi memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Pasangan ini dikenal sebagai DINK atau double income no kids, yakni berpenghasilan ganda tetapi tidak punya anak.
Model ini menjadi tren di Eropa dan Amerika. Di negara-negara maju Asia seperti Jepang, Korea, dan Singapura hal yang sama juga menjadi tren.