Dalam Sehari, Terkumpul Rp 7,9 Triliun untuk Notre Dame
jpnn.com, PARIS - Pada 1831, penulis legendaris Victor Hugo menuliskan novel Notre-Dame de Paris. Belasan tahun kemudian, kisah tragedi tentang si bungkuk Quasimodo dan gadis gipsi Esmeralda tersebut memantik semangat arsitek Eugène Emmanuel Viollet-le-Duc. Akhirnya, bangunan yang hampir roboh itu kembali berdiri pada 1860.
Karya restorasi gedung bergaya gotik oleh Viollet-le-Duc tersebut menarik perhatian. Penyebabnya adalah menara runcing bagian belakang gedung katedral. Warga mencemooh sang arsitek karena dianggap mengubah arsitektur orisinal gedung.
Namun, Viollet-le-Duc bergeming. Dia yakin justru menara itulah hal orisinal yang harus diselamatkan. Ya, menara yang dibangun pada 1250 tersebut sudah dirobohkan pada 1792. Dan, karya ikonik itulah yang pertama terbakar Senin malam (15/4).
''Beruntung kami masih bisa membangun gereja tersebut berdasar cetak biru dari Viollet-le-Duc,'' ujar Claude Gauvard, pakar sejarah Abad Pertengahan Eropa, kepada Agence France Presse.
Pukul 19.50 waktu setempat, menara 96 meter itu runtuh terbakar. Api tersebut terus menjalar ke atap katedral dan tiang-tiang penyangganya. Tiang penyangga atap itu dijuluki The Forest alias Sang Rimba karena menggunakan ratusan balok kayu.
BACA JUGA: Berkicau soal Kebakaran Notre Dame, Donald Trump Disemprot Warganet
Mendengar kabar tersebut, turis dan warga lokal langsung berkerumun di sekitar katedral. Meski tak bisa masuk Ile de la Cite, pulau di tengah Sungai Seine tempat katedral berada, mereka terus bertahan melihat api yang bertahan sepanjang malam. Menangis, berdoa, atau sekadar merenung.
''Itu (Notre-Dame, Red) adalah tempat kami mengajak anak-anak. Ayah dan kakek saya melakukannya. Tapi, sepertinya saya tak bisa menunjukkan tempat tersebut kepada anak saya,'' ujar Philippe. Dia buru-buru bersepeda ke tepi Sungai Seine setelah mendengar kabar kebakaran itu.