Dampak UU P2SK Terhadap Praktik Kepailitan & PKPU
Oleh M. Lazuardi Hasibuan*Kemudian terhadap perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, dana pensiun, lembaga penjamin, lembaga pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran efek, penyelenggara layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi, atau LJK lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh OJK sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan undang-undang lainnya.
Norma tersebut nyaris mengambil alih seluruh kewenangan permohonan pernyataan pailit pada LJK. Pendek kata, setiap perusahaan -baik sekadar penyelenggaraan keuangan maupun yang bersifat penghimpunan dana, menjadi kewenangan OJK.
Kendati demikian, UU P2SK masih menyisihkan kewenangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pemohon pernyataan pailit/PKPU, yakni terhadap debitor penyelenggara jasa pembayaran, penyelenggara sistem pembayaran dan yang berkaitan dengan pasar uang, serta setiap lembaga yang diberikan izin oleh bank sentral tersebut.
Pemegang Polis Asuransi Bukan Kreditor
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian menjelaskan pemegang polis (policy holder) atau pihak tertanggung atau peserta asuransi merupakan pihak yang berkedudukan yang lebih tinggi ketimbang pihak lainnya dalam hal pembagian harta pailit.
Dalam rezim hukum kepailitan, kedudukan yang demikian disebut sebagai kreditor preferen khusus.
UU P2SK telah mengenalkan satu lembaga baru di bidang perasuransian dengan sebutan Lembaga Penjaminan Polis (LPP) yang berfungsi sebagai lembaga pelindung terhadap perusahaan perasuransian yang mengalami gagal bayar klaim.
Perusahaan asuransi harus dilikuidasi jika mengalami kebangkrutan.