Data Pusat dan Daerah Berbeda, Hak Anak Stunting Berpotensi Hilang
jpnn.com, JAKARTA - Bonus demografi Indonesia pada 2030 digadang-gadang bakal menjadi penggerak ekonomi nasional dan membawa kejayaan bagi bangsa.
Namun, hal itu terancam jika persentase balita penderita stunting masih tinggi. Sebab merekalah yang kelak menjadi tenaga produktif tersebut.
Salah satu masalah dalam penyelesaian masalah stunting adalah perbedaan data. Hingga kini perbedaan data angka stunting antara pemerintah pusat dan daerah masih terjadi.
"Sengkarut data angka stunting berpotensi menghilangkan hak anak dalam mendapatkan bantuan penanganan stunting," kata Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Pandeglang Encep Hermawan dalam keterangannya, Jumat (30/9).
Encep menjelaskan perbedaan data terjadi karena cara pengambilan survei yang dilakukan. Itu juga memunculkan indikasi adanya kasus-kasus stunting yang tidak terjamah oleh pemerintah.
"Kalau SSGI kan survei, kalau E-PPGBM adalah real-nya yang dilakukan hasil pengukuran dari posyandu. Memang kita punya data yang lebih mendekati hasil dari survei tersebut," tegasnya.
Di Kabupaten Pandeglang, Banten, data dari SSGI dan E-PPGBM memiliki perbedaan. Tahun 2019, SSGI menyampaikan jika prevalensi stunting sebesar 34 persen, sedangkan di E-PPGBM sebesar 22,2 persen.
Angka yang lebih timpang terlihat pada data 2021. Survei pemerintah pusat menunjukkan peningkatan prevalensi dari tahun 2019, sementara di posyandu menunjukkan penurunan yang signifikan. Perbedaan kedua versi pun terpaut jauh.