Demonstran Tewas di Tangan Aparat, Pemimpin Hong Kong Minta Maaf
jpnn.com, HONG KONG - Lautan warna hitam kembali mendominasi sebagian besar jalanan di Distrik Admiralty, Hong Kong, Minggu (16/6). Penduduk lokal Hong Kong kembali turun ke jalan dengan mengenakan pakaian duka sembari menggenggam bunga putih. Mereka melakukan protes sambil mengenang korban jiwa pertama dalam demonstrasi menentang rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi.
"Kami sengaja membawa bunga putih supaya dia bisa beristirahat dengan tenang," ujar Michael, pemuda 23 tahun yang ikut aksi damai, kepada CNN.
Warga Hong Kong menyimpan ribuan pilu dalam sepekan terakhir. Mereka marah terhadap pemerintah, terutama Chief Executive Hong Kong Carrie Lam, yang mereka pikir tak mendengar aspirasi rakyat. Marah karena pemuda di garis depan dilempari gas air mata dan ditembaki dengan peluru karet oleh aparat.
"Anda seharusnya melindungi kami. Bukannya menembak kami," ujar Ben Choi, seorang pendemo, kepada Agence France-Presse.
Karena itulah, sejak Minggu sore mereka berkumpul di Victoria Street untuk menyampaikan tuntutan. Penduduk Hong Kong seakan tak ingin kehilangan momentum untuk melakukan aksi yang biasanya diganjar berat oleh pemerintah. Termasuk, Mandy, yang baru saja berulang tahun ke-18.
"Saya kira aksi ini lebih penting dari sekedar perayaan ulang tahun. Masalah yang dihadapi semakin serius," ungkapnya.
Sebenarnya Carrie Lam sudah mengangkat bendera putih terhadap barisan rakyat yang mengepung gedung dewan legislatif setiap hari. Sabtu lalu (15/6) dia akhirnya mengumumkan penundaan pembahasan RUU ekstradisi. Tadi malam dia meminta maaf karena sudah memberi label aksi rakyat sebagai kerusuhan terorganisasi.
"Kami sadar bahwa kinerja kami mengundang kemarahan dari masyarakat. Kami berjanji mendengar semua kritik," ungkap dia menurut South China Morning Post.