Digigit Anjing Malah Dipecat, Ada yang Dipaksa Jilati Susu Tumpah
“Demikian juga dengan Nurhayati, PRT di Tangerang Selatan. Lima bulan bekerja, dia disiksa dan hanya diberi gaji Rp 300 ribu. Demikian juga dengan Sri Dewi dan Rohayati di Bekasi,” katanya.
Penderitaan para PRT, kata Dinda, benar-benar sangat tidak manusiawi. Bahkan itu terjadi di Ibu Kota DKI Jakarta, yang hanya berjarak seratusan meter dari Gedung DPR, tempat di mana wakil rakyat seharusnya berperan nyata melahirkan Undang-Undang Tentang Perlindungan PRT, yang hingga saat ini belum juga terbit.
“Seperti di Palmerah, itu PRT-nya baru berusia 15 tahun. Dia tidak saja dipukuli majikannya, bahkan sampai-sampai disuruh membersihkan susu yang tumpah dengan menjilatinya. Ini benar-benar tidak manusiawi dan jauh dari peradaban,” katanya.
Lebih menyedihkannya lagi, ujar Dinda, ketika kasus dilaporkan ke kepolisian, aparat berwenang yang seharusnya melindungi dan menegakkan hukum, malah menghentikan kasus tersebut.
“Kita protes terhadap penanganan kasus ini, tapi ditolak pengadilan. Ini menunjukkan PRT bekerja dalam situasi yang dikecualikan. Tidak ada payung hukum yang jelas. Karena itu UU Perlindungan PRT sangat mendesak. Harus ada pengakuan PRT sebagai pekerja, sehingga mereka memeroleh standar upah minimum yang sesuai,” katanya.
Bukan seperti saat ini, PRT masih dikecualikan dari jaminan ketenagakerjaan. PRT kata Dinda, harus diikuitsertakan dalam jaminan sosial.
“Bayangkan, PRT tidak boleh gunakan lift orang, tapi lift barang. Tak boleh menggunakan kursi majikan. PRT juga mendapat halangan berkomunikasi dan berorganisasi. PRT di aparteman dikunci, tidak pernah dapat pelatihan bahaya kebakaran. Dan pelatihan lain-lain,” katanya.
Dinda dan seluruh pegiat nasib PRT, berharap DPR pada Januari 2015 mendatang, dapat segera membahas RUU Perlindungan PRT. Sehingga nasib pekerja rumah tangga, tidak lagi dipandang sebelah mata.