Dinasti Politik Membangun Keterbelakangan Demokrasi
jpnn.com, JAKARTA - Profesor Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia Karim Suryadi mengkritik fenomena politik dinasti yang masih subur saat ini. Secara spesifik dia menyinggung calon kepala daerah yang berstatus istri dari petahana.
Karim mencontohkan fenomena tersebut di Pilkada di Jawa Barat. Munculnya istri Bupati Kabupaten Bandung Barat Abu Bakar, Elin Suharliah, sebagai calon kepala daerah dinilai merupakan langkah mundurnya demokrasi.
Menurut Karim, politik dinasti bisa membangun keterbelakangan demokrasi. "Makna membangun keterbelakangan itu apa? Jangan sampai berdalih kemajuan, tapi mengambil langkah mundur," jelasnya.
Salah satu berkah demokrasi, Karim melanjutkan, "yakni memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk mencalonkan diri dan adanya jaminan di dalam kesempatan."
Karim mengatakan, fenomena "habis suami majulah istri" dapat merusak tatanan demokrasi. Sampai saat ini, dia mencatat, "belum ada daerah yang berprestasi karena dipimpin istri yang menggantikan suami,"
Selain itu, kata Karim, politik dinasti juga mengganggu prinsip kesamaan di dalam kesempatan. "Sebab pada akhirnya akan ada main anggaran, akan ada main dengan organisasi, dan lain-lain," ujarnya.
Pada kesempatan yang lain, pengamat politik dari Universitas Paramadina Toto Sugiarto menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 7 Undang-Undang Pilkada membuat politik dinasti tak bisa dibatasi.
Alhasil, dia melanjutkan, kepala daerah yang masih menjabat akan sangat leluasa mencalonkan keluarganya sebagai pengganti. Padahal, beban masalah dan potensi korupsi terus membayangi.