DPD Berperan Menjalankan Kewajiban Konstitusional Dalam Otda
Prof. Ryaas Rasyid, pengggagas UU Otonomi Daerah dan mantan menteri Negara Otonomi Daerah Indonesia era Presiden Abdurrahman Wahid menjelaskan, kita tidak memiliki konsep mapan soal otonomi daerah.
Menurutnya, ada kecenderungan yang mempersulit otonomi daerah. Selama ini otonomi daerah tidak pernah selesai dan melahirkan banyak masalah. Bahkan, ia mengatakan sistem ini telah melahirkan para koruptor karena daerah memiliki kewenangan sangat besar dan memiliki otonomi untuk mengelola keuangannya sendiri.
“Mereka menjadi korban sistem itu dan memungkinkan terpeleset,” katanya.
Ia menyarankan agar sistem harus diubah dan mengkoreksi sistem kepemimpinan. “Ada gap antara pemerintah pusat dan daerah. Ada gap antara orang miskin dan orang kaya. Bila dibiarkan begitu terus maka akan menciderai demokrasi kita,” ujar Ryaas.
Sementara Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo yang juga selaku Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Se-Indonesia (APPSI) mengatakan, otonomi daerah suatu keharusan dan mutlak dilakukan. Pemerintah menurutnya harus bisa memenuhi harapan rakyat dalam hal meningkatkan pembangunan dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Ia memberi masukan agar DPD merupakan representasi di kantor gubernur masing-masing daerah, bukan di Senayan. Karena DPD tidak sama dengan DPR. “DPD memperjuangkan kepentingan daerah,” katanya.
Syarif Hidayat dari LIPI membicarakan mengenai penguatan DPD. “Praktik desentralisasi belum sepenuhnya sesuai prinsip negara kesatuan.Yang terbaik adalah otonomi luas bukannya ke otonomi terbatas. Konsep ini harus direformasi,”katanya.
Menurut Syarif, DPD sebagai penyeimbang, pengawasan, dan anggaran. Dan melakukan penguatan dalam perencanaan pembangunan. Namun pada prakteknya DPD dilemahkan dalam menjalankan fungsi penyeimbang.(adv/jpnn)