DPR: Belum Saatnya BRI Miliki Satelit Sendiri
jpnn.com - JAKARTA - Dua anggota Komisi VI DPR, Lili Asdjudiredja (dari Fraksi Golkar) dan Erik Satrya Wardhana (dari Fraksi Hanura) menilai belum saatnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) memiliki satelit sendiri untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Hal itu berdasarkan penilaian dari sisi waktu dan tingkat kebutuhan pada bank milik pemerintah itu.
"Dari sisi waktu, saat ini semua partai politik peserta Pemilu butuh logistik. Transaksi satelit yang nilainya pasti triliunan rupiah tersebut sangat rawan dengan praktek perburuan rente," kata Lili Asdjudiredja, di gedung DPR, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (19/12).
Sedangkan dari sisi tingkat kebutuhan lanjutnya, selama ini belum satu pun bank di Indonesia yang mengeluhkan soal ketersediaan jaringan yang ada. Jadi, BRI jangan ngotot dulu untuk punya satelit sendiri. Optimalisasi saja teknologi yang sudah tersedia.
"Kalau diukur dari tingkat kebutuhan, justru Kominfo yang butuh satelit,” tegasnya.
Lebih lanjut, Lili mempertanyakan dasar BRI untuk memiliki slot orbit satelit 150,5 BT yang saat ini digunakan oleh operator telekomunikasi PT Indosat. Politisi senior ini mencurigai ada sesuatu di balik itu. “Namanya mau Pemilu, kecurigaan banyak pihak pasti muncul, apalagi dalam konteks satelit itu kan pasti banyak uang di sana,” imbuhnya.
Sementara Erik Satrya Wardhana mengatakan, menjelang akhir pemerintahan suatu rezim, dalam hal ini pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, semestinya, berbagai aksi korporasi yang menyangkut kepentingan banyak pihak, ditunda.
"Kebijakan penjualan aset, investasi baru bernilai sangat besar, dan juga aksi seperti BRI yang ingin punya satelit sendiri, sebaiknya ditunda saja. Kasus Century, yang hingga kini tidak selesai-selesai mestinya dapat kita ambil hikmahnya dan kita tidak mau lagi usai Pemilu ada saja skandal besar mencuat," saran Erik.
Dalam hubungan ini, Erik meminta masyarakat dan seluruh elemen terkait mengawasi sehingga dalam masa peralihan pemerintahan, tidak terjadi aksi korporasi yang merugikan negara dan rakyat. (fas/jpnn)