Dua Warga Pontianak Terancam Dihukum Mati
JAKARTA – Kota Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi salah satu pangsa pasar empuk narkoba. Ini dibuktikan dengan pengungkapan 40 ribu butir pil ekstasi yang rencananya akan diedarkan di Pontianak, Surabaya, dan Jakarta.
Tujuh tersangka yakni, Fadli, Azrul Zulkifli, Bustaman, Jafaruddin, Masrif, Helmi Almuthahar dan Max Yusal ditangkap penyidik Direktorat Narkotika Badan Reserse Kriminal Kepolisian. Penangkapan mereka dilakukan mulai 2 Februari 2016, di sejumlah lokasi di Indonesia.
“Dari 40 ribu butir pil ekstasi itu, sebagian rencananya akan mereka edarkan ke Kota Pontianak, Jakarta, dan Surabaya,” tegas Wakil Dittipidnarkoba Bareskrim Polri Komisaris Besar Nugroho Aji kepada Pontianak Post (grup JPNN) Sabtu (20/2) malam.
Dua di antara tujuh tersangka, Helmi dan Max Yusal, disebut-sebut warga asal Pontianak, Kalbar. Saat dikonfirmasi apakah Helmi dan Max Yusal merupakan warga Pontianak, Nugroho Aji menjawab diplomatis. “Itu saya belum tahu ya. Kami masih lakukan pengembangan,” kata Aji diplomatis.
Ia menegaskan, tujuh tersangka ini punya jaringan di Palembang, Sumatera Selatan, Surabaya, Jawa Timur, Jakarta, dan Pontianak, Kalbar. Aji menjelaskan, tujuh tersangka ini punya peran masing-masing. Aksi mereka terbongkar setelah polisi melakukan penyelidikan selama 25 hari atau sejak awal Januari 2016.
Polisi mencium ada upaya pengiriman ekstasi dalam jumlah besar dari Malaysia melalui Medan dan Jakarta. Narkoba itu dikirim melalui kapal laut dari Malaysia. Barang itu diduga berasal dari Belgia dan Belanda. Sampai di Medan dari Malaysia, barang tersebut rencananya akan diserahterimakan di Jakarta. “Kami lakukan control delivery untuk menangkap mereka,” tegas Aji dalam jumpa pers di markas Dittipidnarkoba Bareskrim Polri, di Cawang, Jakarta Timur, Jumat (19/2).
Mendapati informasi itu, anak buah Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Anang Iskandar yang tergabung dalam beberapa tim kemudian melakukan surveillance. Tersangka Azrul diikuti saat dalam perjalanan dari Medan menuju Jakarta menggunakan bus antarprovinsi PM. Toh. Dalam bus rute Medan-Jakarta, itu Azrul membawa ekstasi di dalam ransel yang ditutupi kain.
Saat tiba di Pool Bus PM. Toh, di Jalan Jenderal Sudirman, nomor 46, Kelurahan Babakan, Kecamatan Cikokol, Tangerang, Banten, 3 Februari 2016, Azrul akan menyerahkan barang itu ke Fadli. Namun, saat serah terima barang laknat tersebut polisi meringkus tersangka. “Mereka berdua tertangkap tangan,” kata Aji.
Dari dua tersangka ini, polisi berhasil menyita 40 ribu butir ekstasi yang disimpan di dalam delapan bungkus plastik. “Barang kualitas bagus, diduga dari sindikat Belanda dan Belgia,” tegas Aji.
Pengembangan terus dilakukan. Dari keterangan Azrul dan Fadli, polisi kemudian melakukan penangkapan dua tersangka, Jafaruddin dan Bustaman, di Medan, Sumatera Utara pada hari yang sama. Aji menjelaskan, Jafaruddin merupakan orang yang menerima kiriman barang dari Malaysia. Jafaruddin kemudian menyerahkan ke Azrul untuk dibawa ke Jakarta. Sedangkan Bustaman, lanjut Aji, berperan sebagai pengawas transportasi pengiriman barang.
Empat tersangka yang sudah diringkus pun “bernyanyi” lagi. “Keempat tersangka mengatakan barang akan diserahkan pada tiga tersangka lainnya (Max Yusal, Helmi Almuthahar dan Masrif) di Jakarta,” kata Aji.
Polisi kemudian melakukan pengintaian terhadap tiga tersangka. Pada 5 Februari 2016, polisi berhasil menangkap Helmi Almuthahar di depan BRI, Tangerang, Banten. “Sedangkan tim lain melakukan penangkapan terhadap MY (Max Yusal) dan MAS (Masrif), di Pejompongan, Jakarta Pusat,” kata Aji.
Lebih lanjut Aji menjelaskan bahwa Max Yusal, Masrif dan Helmi Almuthahar berperan sebagai penerima barang dari Fadli, yang menerima narkoba dari Azrul. Di luar 40 ribu ekstasi yang sudah diamankan dalam penangkapan sebelumnya, polisi juga menemukan barang bukti lain saat menangkap Helmi Almuthahar, Max Yusal dan Masrif. “Juga ada 11 unit ponsel, 23 gram sabu dan 52 butir ekstasi yang disita dari tersangka HA, MY dan MS," kata Aji.
Para tersangka, kata Aji, dijerat pasal 114 ayat 2 juncto pasal 132 ayat 2 Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman mati. Saat ini polisi masih berupaya mengejar pemasok barang. Polisi menduga barang dipasok dari dua bandar besar yang kini masuk daftar pencarian orang. DPO itu yakniAhmad di Malaysia dan Laksamana Pyong alias Boncel yang bermukim di Belgia dan Belanda. “Beberapa kali kami lakukan pengungkapan, barangnya selalu dari dia,” kata Aji.
Ia menjelaskan, Boncel dulunya merupakan warga negara Indonesia. Dia kabur ke Belanda setelah terlibat kasus narkoba. Kini Boncel sudah menjadi warga negara Belanda. Salah satu jaringan Boncel, kata Aji, adalah terpidana mati narkotika Freddy Budiman.