Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Dunia Film Itu Fatamorgana yang Nyata

Selasa, 20 Mei 2014 – 11:21 WIB
Dunia Film Itu Fatamorgana yang Nyata - JPNN.COM
Foto: Don Kardono/Indopos/JPNN

Pasar terus bergerak dan anomali. Itu pula yang sering menjadi alasan, mengapa industri film kita tidak segera booming, sekalipun karya-karya film nasional sudah “berkibar” di festival-festival internasional. Bahkan, ada beberapa yang sudah diputar di AS dan Eropa. Kreativitas anak-anak film kita kalau jujur, jauh lebih keren dibandingkan Thailand dan Filipina. Tetapi industri dan uang yang beredar dari dunia perfilman di sana, mungkin memiliki velue lebih besar.

Soal “kekuasaan” kurator film yang menyeleksi film-film yang akan ditayangkan di bioskop itu, ada juga pengalaman menarik. Film Sepatu Dahlan, yang diputar 14 April 2014 lalu, hanya sehari naik di jaringan 21, dan langsung diturun lagi. Belum sempat booming, sudah di-cut. Kenyataan seperti film yang disutradarai Benni Setiawan dengan bintang Donny Damara, Kinaryosih, Ray Sahetapi, dan lainnya itu mungkin juga banyak dihadapi produser-produser film nasional lain.

Apakah semua film nasional bisa diputar di 21 atau Blitz? Pasti tidak? Bagaiamana kriterianya? Ya mereka yang mengatur sendiri, independen, tidak boleh ada campur tangan siapapun. Termasuk pemerintah. Karena soal distribusi, ini soal market, soal bisnis. Dan pemerintah hanya berkewajiban mendorong, dan membangun iklim yang kondusif untuk pengembangan perfilman nasional. “Film sebagai karya kreatif. Produk kreatif, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terus mendorong tumbuh berkembangnya industri ini,” jelas Syamsul Lusa, Staf Ahli Menteri Parekraf RI, di Cannes.

Melihat semangat anak-anak muda Indonesia di Marche du Cannes, Syamsul cukup berbangga. Di luar negeri, produk-produk film nasional tetap mendapat tempat. Di pasar internasional, bisa dipasarkan dengan buyernya cukup menjanjikan untuk sustainable. “Di Pasar Film Cannes ini, fokusnya adalah berjualan film nasional. Kami memfasilitas dengan booth Cinema Indonesia, sekaligus memasarkan pariwisata Indonesia,” kata dia. 

Syamsul Lusa akan terus memperjuangkan agar di festival-festival penting, seperti Cannes, Berlin, Los Angeles, Hongkong, Busan, dan lainnya, Indonesia harus ikut. Agar keberlangsungan program pengembangan film nasional ini terus terjaga dan tetap berkembang.

Pemerintah DKI Jakarta juga sudah mengapresiasi dunia perfilman nasional. Khusus di DKI, sejak 2013, pajak tontonan dihitung berdasarkan gross film Indonesia dikembalikan kepada produsen film sebanyak 75 persen. Itu berdasarkan Pergub Prov. DKI Jakarta no. 115 tahun 2012.

Memang, kalau melihat angka, baru 13 persen dari penduduk Indonesia yang punya akses, punya potensi dan doyan nonton bioskop, itu angkanya cukup besar. Dan, rasionya masih dibisa dibesarkan lagi, jika ada penambahan layar bioskop baru. Dibandingkan dengan jumlah kelas menengah Indonesia yang terus meningkat. Biaya hidup nsional rata-rata sebesar Rp 5,58 juta per bulan. Porsi pengeluaran konsumsi hanya 35 persen, sisanya untuk kepentingan lain, hampir 65 persen.

Dari 82 kota yang disurvei oleh BPS, biaya hidup tertinggi di Jakarta Rp 7,5 juta dan terendah di Banyuwangi Rp 3 juta. Artinya, kelas menengah atas yang menjadi sasaran pemasaran film nasional itu masih dalam koridor pengembangan. Potensi sangat terbuka, karena produksi atau suplay film nasional itu sudah semakin besar dan bergairah.

Semua insan film tahu pasti, bahwa industri  perfilman itu tergolong high risk, berisiko tinggi. Sulit memastikan proyeksi return on investment

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA