Eks Gafatar: Orang Dayak Justru Melindungi Kami
Fathul mengaku tertarik bergabung Gafatar karena melihat masyarakat sekarang sudah rusak. Orientasi kebahagiaan didasarkan kepada materi. Banyak korupsi terjadi, pencurian, perzinahan, hingga ayah memperkosa anak kandungnya sendiri.
Hal tersebut lah yang membuat dia dan kelompoknya melakukan Hijrah ke Kalimantan. Alasan pertama karena harga tanah di sana relatif murah. Satu hektare tanah dihargai Rp 7,5 juta. ”Akhirnya kami memutuskan untuk membeli tanah seluas 43 hektare dan mendirikan Kelompok Tani Manunggal Sejati,” ungkapnya.
Tanah tersebut dibeli oleh 9 anggota yang menginvestasikan uangnya untuk membeli tanah. Salah satunya pengungsi asal Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Sukardi, 47.
”Saya menjual rumah dan harta di Madiun hingga terkumpul Rp 300 juta. Sebagian saya saya sumbangkan untuk membeli tanah,” kata mantan PNS ini.
Sedangkan anggota kelompok yang kurang mampu, bertugas menggarap tanah tersebut. Dari situ dihasilkan sayur-sayuran seberti timun, sawi, kacang panjang hingga kacang tanah. Sedangkan disisi peternakan, mereka membudidayakan lele, bebek, ayam dan sapi.
Dinas pertanian setempat pernah berkunjung ke tempat eks Gafatar. Mereka pesimis tanah gambut yang tidak subur dapat menghasilkan. Namun mereka membuktikannya dengan berhasil menjadikan pertanian sebagai penghasilan utama. “Bahkan kami menanam 5.000 nanas. Tapi sayangnya belum sempat panen kami sudah diusir,” tutur Sukardi.
Sukardi menceritakan bila yang membakar kampungnya bukanlah orang pribumi atau orang dayak. Orang dayak justru melindungi mereka.
”Kepala Suku Dayak setempat bernama Andi. Dia berjanji akan melindungi kami bila ada yang menyakiti kaum ibu dan anak-anak kami. Tapi untungnya hanya harta benda kami yang hilang, tidak ada yang tersakiti dan tidak terjadi pertikaian,” ungkap Sukardi.