Eks Ketua BPPN Ungkap Alasan Penerbitan SKL untuk Sjamsul
Jika menuruti seperti keinginan penyidik, lanjut Syafruddin, maka ini sudah melanggar sejumlah ketentuan tentang MSAA. "Kalau begitu, maka kita sudah menabrak semua aturan-aturan, TAP MPR, Propenas, dan keputusan sidang kabinet serta Inpres 9 tahun 2002, mengatakan, MSAA harus dilaksanakan secara konsisten, jangan diubah-ubah, itulah yang diinginkan KKSK sebelum-sebelumnya," kata Syafruddin.
Pada kesempatan ini, Syafruddin menyampaikan bahwa utang petambak Dipasena dan PT Wachyuni Mandira itu bukan merupakan kewajiban Sjamsul Nursalim. "Utang petambak itu bukan kewajian Sjamsul Nursalim," tandasnya.
Menurutnya, untuk membayar BLBI itu pertama-tama adalah menggunakan aset bank itu sendiri, yaitu aset-aset bank yang dinilai baik, yakni kredit yang ada jaminannya tersendiri.
Pada sisi aktiva neraca BDNI saat itu nilainya Rp 47 trilyun, namun yang diambil atau diperhitungkan sebagai pengurangnya hanya Rp 18 trilyun karena yang ini ada penjaminannya seperti utang petambak dijamin oleh Dipasena.
Sedangkan saat jaksa menyoal bahwa Rp 47 trilyun itu merupakan jumlah kewajiban yang harus dibayar, bukan nilai asetnya, Syafruddin menyampaikan kepada majelis hakim bahwa nilai asset BDNI adalah Rp 47 trilyun sebagaimana tergambar dalam neraca BDNI.
"Kami ingin sampaikan ke majelis, dalam rangka ini. Jadi aset BDNI ini Rp 47 trilyun dan ini dari audit BPK 2017, saya tunjukan ke Yang Mulia. Ini audit BPK 2017. Jadi ini aktivapasiva, neraca BDNI 21 Agustus ini dari hasil audit investigasi BPK tahun 2017. Ini yang kami buat ini, ini aktivanya Rp 47 trilyun, ini adalah Rp 47 trilyun bukan dibuat-buat, kami ambil dari sini. Jadi aset BDNI ini adalah Rp 47 trilyun," ujarnya.
Total asset Bank Rp 47 trilyun tapi yang digunakan untuk mengurangi kewajiban hanya Rp 18 trilyun. (dil/jpnn)