Fadli Zon: Pemerintah Gagal Menjaga Martabat Rupiah
Menurut dia, ini bukan soal apakah kondisi Indonesia lebih baik atau buruk dibanding negara lain. Namun, soal apakah pemerintah telah mengantisipasi terjadinya krisis atau tidak. "Jika kondisi negara lain lebih buruk, bukan berarti kita baik-baik saja," ungkapnya.
Risiko di depan mata yang dihadapi misalnya terkait dengan utang. Sebab, sekitar 41 persen utang ada dalam denominasi mata uang asing. Artinya, jelas dia, perubahan kurs rupiah atas mata uang bersangkutan akan mempengaruhi posisi utang secara keseluruhan.
Menurut data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 31 Desember 2017 lalu, dari total Rp3.938,45 triliun, utang dalam denominasi rupiah adalah sebesar 59 persen, dolar AS 29 persen, Yen Jepang 6 persen, Euro 4 persen, SDR IMF 1 persen, dan lainnya sebesar 1 persen.
"Jadi, utang kita yang berdenominasi valuta asing sebear 41 persen baik dalam bentuk pinjaman, SBN (Surat Berharga Negara), maupun SBN Syariah," katanya.
Turunnya nilai tukar rupiah jelas akan berpengaruh terhadap beban pembayaran utang, baik bunga maupun cicilan jatuh tempo. "Ujungnya, APBN kita akan semakin terbebani pembayaran utang," ujarnya.
Menurutnya, turunnya nilai tukar rupiah juga telah berimbas pada menurunnha tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Terbukti, sudah tiga kali berturut-turut lelang Surat Utang Negara (SUN) tidak pernah mencapai target.
Pada 24 April, SUN hanya terjual Rp 6.150 miliar, padahal target indikatifnya Rp 17.000 miliar. Berikutnya, pada 2 Mei 2018, SBSN (Syariah) hanya terjual Rp 5.530 miliar dari target indikatif Rp 8.000 miliar. Terakhir 8 Mei pemerintah bahkan gagal menjual SUN sama sekali dari Rp 17.000 miliar yang ditargetkan.
“Ini sebenarnya lampu merah untuk pemerintah. Kredibilitas mereka kini semakin diragukan investor," katanya.