Film Mantan Manten Hadirkan Kegalauan Level Kombo
jpnn.com - Kisah galau level kombo menjadi ide utama film Mantan Manten. Yasnina (Atiqah Hasiholan) hampir menikah dengan Surya (Arifin Putra). Hidup Yasnina makin sempurna saat Surya melamarnya. Mereka berdua sama-sama berpendidikan tinggi dan mapan secara finansial. Couple goals banget. Tapi, Yasnina malah menghadapi tantangan yang tidak diduga-duga. Dari calon mertuanya sendiri yang juga merupakan partner kerjanya.
Berbagai konflik dan masalah di Jakarta akhirnya malah membawanya ke Tawangmangu, tempat satu-satunya harapan dia bisa mengembalikan kehidupan semula. Namun, setelah seperempat bagian, film lebih banyak bercerita tentang paes, kegiatan Yasnina setelah pindah ke Tawangmangu. Banyak detail tentang paes yang ditampilkan sejak munculnya karakter Bude Marjanti (Tutie Kirana). Mulai teknik membuat rias manten adat Jawa, ritual mutih yang selalu menjadi kebiasaan, sampai ritual membesarkan ukuran beskap manten yang kekecilan.
Masalah beskap kekecilan itu pula yang kembali mempertemukan Yasnina dengan Surya di akhir film. Dia sampai pada titik paling nadir dalam kehidupannya. Yasnina dihadapkan dengan pilihan. Apakah dia tetap membalas dendam kepada ayah Surya, membenci Surya, atau move on dan menerima hidupnya kini sebagai pemaes? Jawabannya dibeberkan di akhir film dengan adegan-adegan yang sukses bikin baper dan berkaca-kaca.
Film ini menyampaikan banyak pesan soal keikhlasan. Ikhlas bukan hanya soal merelakan mantan alias masalah percintaan saja, melainkan juga pada aspek kehidupan yang lebih luas. Move on dari masa lalu, dendam, ambisi, dan sebagainya. Bisa dibilang, jalan cerita Mantan Manten cukup serius dan lebih dekat dikategorikan dengan drama. Meskipun tetap ada bumbu-bumbu komedi di dalamnya.
Kelebihan lain film ini adalah kembali mengangkat sebuah tradisi yang nyaris terlupakan. Yakni, paes alias tradisi rias manten dalam budaya Jawa. Tidak hanya merias, banyak ritual yang harus dijalankan pemaes yang sebagian telah ditampilkan di film ini.
Atiqah menjelaskan, ada pesan pemberdayaan perempuan dalam karakternya dan Bude Marjanti. Perempuan yang berdaya tidak selalu digambarkan dengan perjuangan agar mendapat posisi setara dengan laki-laki. Tetapi, dia tetap bertahan meski ada di titik terendah. Juga, menerima diri sendiri. ''Pemberdayaan perempuan sekarang sudah beda, tapi banyak kurangnya juga. Kurang melihat diri sendiri, malah banyak membandingkan dengan orang lain,'' ungkap Atiqah. (deb/c19/jan)