Formula E, PON Papua, dan Sirkuit Mandalika
Oleh: Dhimam Abror DjuraidAjang ini akan menjadi promosi gratis bagi Jakarta dan Tugu Monas untuk bisa makin dikenal di dunia. Namun, pemerintah pusat tidak melihat potensi itu, dan sirkuit balapan harus dipindah ke lokasi lain.
Ganjalan lain yang bersifat politis masih bermunculan. Gerakan interpelasi oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) secara formal sudah gagal, tetapi gerakan untuk mengadang perhelatan ini masih tetap berlangsung melalui berbagai gerakan pembentukan opini publik di berbagai media.
Alasan utama yang dipakai untuk mengadang Formula E adalah soal biaya penyelenggaraan. Uang commitment fee Rp 560 miliar dipersoalkan. Biaya penyelenggaraan Rp 150 miliar per tahun juga disorot karena dianggap sebagai pemborosan.
Para penentang Formula E menyebut proyek ini menghamburkan uang rakyat di tengah kondisi pandemi. Anggota DPRD dari PSI Tina Toon dengan penuh semangat melakukan interupsi dengan mengatakan bahwa pelaksanaan Fomula E tidak membuat rakyat kenyang.
Tina Toon lebih dikenal publik sebagai penyanyi Bolo-Bolo ketimbang sebagai politisi. Pernyataan Bolo-Bolo itu bisa menjadi bumerang.
Bagaimana dengan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua yang menelan biaya triliunan, apakah bisa membuat rakyat Papua kenyang? Bagaimana dengan pembangunan Sirkuit Mandalika yang mahal dan mengorbankan tanah rakyat, apakah bisa membuat rakyat kenyang?
Masyarakat Indonesia ikut berbangga dan berbahagia dengan penyelenggaraan PON Papua yang semarak dan bergairah.
Papua yang selama ini ketinggalan dalam berbagai pembangunan, akhirnya bisa mengejar ketertinggalan. Papua berhasil membuktikan diri mampu menjadi penyelenggara event nasional yang berkelas internasional.