Gandrung Banyuwangi Menginspirasi Teater Garasi
Proyek ini melibatkan berbagai seniman lintas disiplin dari khasanah musik tradisi, musik digital, teater, hingga seni rupa kontemporer.
Yennu menjelaskan, ketika mengolah isu-isu ini, dia bertemu lagi dengan Gandrung, bentuk kesenian Banyuwangi yang sejak lama menarik perhatiannya. Dari situ pula Yennu mempelajari sejarah perlawanan kerajaan Blambangan yang dari dahulu, abad 14 M, selalu menolak tunduk pada kekuasaan Majapahit, Bali, Mataram hingga VOC.
“Saya membaca kembali Suku Osing, penduduk asli Banyuwangi, yang dalam Perang Puputan (perang penghabisan) melawan Belanda dan Mataram mesti kehilangan 80 persen dari populasinya. Suku Osing, suku yang selalu berkata tidak pada setiap kekuasaan yang hendak menaklukkannya,” tegasnya.
Untuk komposisi dan penampilan musik, Yennu berkolaborasi dengan Andi Meinl, Asa Rahmana, Nadya Hatta dan Silir Pujiwati. Pemanggungan berkolaborasi dengan Ugoran Prasad (dramaturgi), Yossy Herman Susilo (sound-designer), Ignatius Sugiarto (lighting designer), Timoteus Anggawan Kusno (seniman rupa), Gunawan Maryanto (performer dan co-director), Dendi Madiya (performer dan co-director), Fidelis Krus, Muchammad Syachbudin, Ricky Unik dan Sri Qadariatin (performer).
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang berdarah asli Banyuwangi pun mengapresiasi rencana Teater Garasi mementaskan Menara Ingatan. Menurutnya, seni teater punya penggemar tersendiri.
Arief mengatakan, penggemar teater memang tidak banyak, tetapi mereka eksis. Dia lantas mengibaratkan penggemar teater seperti halnya penyuka jazz atau musik klasik. Ada pasarnya meskipun tipis.
Ternyata, Yogyakarta memberi ruang untuk berkembangnya seni teater. "Jogja sebagai kota budaya, kota seni, kota pendidikan dan pariwisata, cocok untuk mengembangkan seni yang tergolong berat ini," kata Arief.
Mantan direktur utama PT Telkom itu selalu melihat seni dari dua sisi yang saling menguatkan. Yakni cultural value dan commercial value.