Gonta-Ganti Kebijakan, Kemendag Terbukti Tak Mampu Urus Minyak Goreng
Sedangkan mengenai kebijakan satu harga dengan subsidi dari dana BPDPKS, yang sebelumnya sempat diterapkan. Menurutnya masih memungkinkan, namun hanya untuk jangka pendek.
Kebijakan yang diambil saat ini belum juga terasa manfaatnya sampai ke masyarakat. Seluruh eksportir yang akan mengekspor saat ini wajib memasok/mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp 9.300/kg untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp 10.300/kg.
Namun, proses produksi dan distribusi tentunya memakan waktu sehingga supply tidak langsung ada secara merata.
Dalam menghadapi kondisi ketidakpastian seperti sekarang ini, kemendag harus sensitif. Menyiapkan langkah apa yang harus diambil, dan tindakan cepat dan agresif sehingga tidak sampai menimbulkan kepanikan. Pemerintah juga harus secara matang merumuskan pengawasan distribusi dan retail untuk meminimalisir kecurangan di masa yang sulit ini.
"Masalahnya disini yang kita hadapi adalah kartel. Penegak hukumnya juga harus gerak cepat menangani ini," ujar Rahma.
Indikasi atau sinyal adanya permainan kartel terlihat dari hasil kajian KPPU yang menunjukkan bahwa industri besar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang berbentuk oligopolistic.
Maka ada indikasi kartel, dalam artian kerjasama produsen besar dalam negeri untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dengan tujuan penetapan harga.
Mengenai Kemendag yang beralasan kebijakan Biodiesel B30 menjadi penyebab tingginya harga minyak goreng. Menurut Rahma hal tidak bisa menjadi alasan utama. Ada faktor-faktor penyebab lain yang juga memicu peningkatan harga minyak goreng domestik. (dil/jpnn)