Hari Santri Ke-8, SAS Institute Serukan Kebangkitan Ekonomi Pesantren
"Jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin semakin menganga. Inilah salah satu tantangan kaum pesantren, dan pesantren, dewasa ini. Bagaimana memberdayakan kaum santri secara ekonomi, bukan hanya mandiri untuk dirinya sendiri, namun juga mampu menjadi penggerak bagi lingkungannya," beber dia.
Menurut dia, kaum santri (pesantren) dewasa ini harus mulai bergerak kembali dengan paradigma ekonomi kerakyatan sebagaimana dicita-citakan para founding father.
"Seperti Muhammad Hatta maupun KH Wahab Chasbullah yang menggagas Nahdlatul Tujjar. Sebuah wadah persatuan bagi para saudagar muslim dan ulama karena tergugah dengan kondisi kemiskinan rakyat akibat kolonialisme Belanda lebih dari satu abad yang lalu (1918). Nahdlatul Tujjar sendiri kemudian menjadi salah satu embrio bagi lahirnya organisasi kaum santri terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU)," tutur Sa'dullah.
Dengan demikian, lanjutnya, pada Hari Santri yang ke-8 ini sangatlah tepat kiranya jika kaum santri dan pesantren memusatkan pandangan pada kebangkitan ekonomi santri.
Secara politik, kaum santri telah memiliki panggung yang cukup terbuka untuk pentas, meski tentu belum sebanding dengan jasanya selama berabad-abad dalam membangun peradaban bangsa.
Secara pemikiran, santri juga telah banyak memiliki professor apalagi doktor dalam berbagai bidang, baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri.
"Namun, kalangan santri-pesantren, secara ekonomi dewasa ini, masih menjadi penghuni kelas menengah ke bawah. Inilah pekerjaan besar kaum santri ke depan. Sebuah tugas yang tidak lebih ringan dari perjuangan kaum santri dalam mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan Indonesia," pungkasnya. (dil/jpnn)