Harus Diakui, Sistem Pemilu di Indonesia Tambal Sulam
Yang ketiga adalah paradoks antara pemilu serentak dengan sistem presidential threshold dan parliamentary threshold yang saat ini berlaku. ”Pelaksanaan pemilihan serentak membuat presidential threshold menjadi kehilangan relevansi,” katanya.
Selain problem paradoks, hingga saat ini sistem demokrasi di Indonesia masih sangat menganut sistem pasar. ”Supply and demand (permintaan dan penawaran) masih sangat kuat,” katanya.
Hal itu membuat kontestan pemilu (parpol) benar-benar berhitung. Seperti yang terjadi di Pilpres 2019, seluruh parpol memilih untuk menimbang satu dari dua capres yang ada, yakni calon petahana Joko Widodo serta Prabowo Subianto. Sebab, dua nama inilah yang paling berpeluang.
”Meskipun, dengan komposisi suara partai hari ini, Pilpres mendatang memungkinkan bisa diikuti maksimal empat pasangan capres-cawapres,” kata Kacung.
Hal senada diungkapkan Ferry. Salah satu Komisioner KPU RI periode 2012-2017 itu menyebut, ada cukup banyak hal yang perlu dibenahi dari sistem demokrasi di negeri ini. ”Sistem pemilu kita masih tambal sulam,” katanya.
Dia menyebut, hal ini tak lepas dari proses pembuatan sistem pemilu yang masih melibatkan parlemen (DPR), yang di dalamnya terdapat berbagai jenis kepentingan.
Hal ini yang membuat sistem pemilu/pilpres selalu mengalami trial and error. ”Karena itu, jika ingin membuat sistem demokrasi yang ideal, penyusunannya bukan lagi dilakukan oleh DPR,” katanya.
Dia mencontohkan aturan soal presidential threshold dan parliamentary threshold yang saat ini berlaku. Padahal, saat ini, ada sejumlah parpol baru yang pada pemilu sebelumnya belum berpartisipasi. ”Sehingga belum memiliki presidential threshold dan parliamentary threshold,” katanya.