Hebat, Syachroni Raih IPK Sempurna di Unair
Incar S3 di Belandajpnn.com, SURABAYA - Syachroni menjadi pusat perhatian ribuan wisudawan dan tamu undangan di Airlangga Convention Center (ACC) Selasa (11/9). Namanya dipanggil MC (master of ceremony) sebagai wisudawan terbaik periode September 2018. Pria 31 tahun itu lulus program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) dengan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) sempurna 4,00.
Tentu saja, itu membuat bangga Syachroni. Wajahnya semringah. Senyumnya terus mengembang. Matanya berbinar-binar. Rektor Unair Prof M. Nasih mengucapkan selamat kepada Syachroni. Sebuah piala penghargaan dari Unair diberikan kepada pria 31 tahun itu.
"Saya tidak menyangka bisa lulus dengan predikat terbaik dan nilai sempurna," katanya setelah menerima penghargaan.
Syachroni adalah mahasiswa Prodi Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM Unair. Dia penerima beasiswa program pascasarjana dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Statusnya saat ini adalah aparatur sipil negara (ASN) di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kemenkes.
"Sebenarnya, target saya hanya lulus tepat waktu. Dua tahun belajar," ujarnya Namun, tidak disangka, kesungguhan untuk bisa lulus tepat waktu itu membuat Syachroni mendapatkan nilai-nilai sempurna di setiap mata kuliah hingga tesis. Sejak awal masuk kuliah, dia hanya berusaha menjadi yang terbaik tanpa menargetkan meraih IPK 4,00. "Saat semester awal, IPK saya 4,00. Rasanya bangga dan senang. Lalu, saya hanya berusaha mempertahankan," jelasnya.
Syachroni memang sangat menyenangi dunia pelayanan kesehatan. Hampir seluruh penelitiannya berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Begitu juga tesis yang dibuatnya. Judul penelitiannya Upaya Peningkatan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru Berdasarkan Analisis Patient Engagement.
Penelitiannya dilakukan di kawasan Surabaya Utara. Sebab, angka kasus TBC di Surabaya Utara terbilang tinggi daripada kawasan lainnya. "Lokasi penelitian saya mendapat saran dari dosen dan Dinkes Jawa Timur," katanya.
Penelitian dilakukan selama tiga bulan di Surabaya Utara. Baik pelayanan kesehatan di puskesmas maupun langsung ke rumah pasien TBC. Dia ingin mengetahui proses pelayanan puskesmas untuk meningkatkan pengobatan pasien TBC tipe 1. "Ini penting. Sebab, kalau pengobatan gagal, pasien berisiko rentan terhadap obat. Pengobatan pun akan semakin lama," jelas bungsu lima bersaudara itu.
Selama tiga bulan melakukan penelitian untuk menyelesaikan tesis, Syachroni mengaku sempat mengalami stres. Mood-nya kadang berubah jelek. Meski begitu, dia terus berupaya untuk membangkitkan mood dengan berkumpul bersama teman-temannya di Surabaya. "Saya kan anak rantau di Surabaya. Jadi, wajar kalau tiba-tiba enggak mood saat mengerjakan tesis. Harus rileks dulu," katanya.
Setelah tiga bulan, penelitiannya kelar. Selama tiga bulan tersebut, dia memaksimalkan betul upaya peningkatan pengobatan TBC paru kategori 1. Mulai pengawasan pengobatan yang dilakukan petugas puskesmas, terbentuknya kader TBC di kawasan tersebut, hingga wawancara dengan sistem jemput bola kepada pasien TBC. "Saya lakukan dengan cara persuasif," jelasnya.
Putra pasangan Abdul Salam dan Wartiningsih itu akhirnya berhasil mendapatkan nilai A untuk tesisnya. Hal tersebut membuatnya lebih semangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. "Rencananya, saya ingin melanjutkan S-3 ke Belanda," katanya.
Namun, untuk memperoleh beasiswa S-3 ke Belanda, Syachroni harus berjuang keras. Saat ini dia ingin berfokus terlebih dahulu untuk mengaplikasikan ilmunya sebagai peneliti di Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Litbangkes. "Setelah ini, saya akan bertugas lagi. Melakukan penelitian-penelitian skala nasional," ujarnya.
Syachroni mengatakan ingin mengaplikasikan ilmu yang dimiliki ke bidang yang lebih luas. Bukan hanya tentang TBC, melainkan banyak bidang kesehatan masyarakat lainnya. "Setidaknya ilmu yang saya miliki berguna," kata dia. (Septinda Ayu/c6/ano)