Hikmah Ramadan: Istikamah Belajar Ikhlas
Oleh: Prof Dr Utami WidiatiDengan kata lain, tugas berat yang ada di hadapan saya pasca Ramadan adalah menjaga keistikamahan ibadah di luar bulan mulia ini. Inilah intisari pelajaran puasa Ramadan yang saya rasakan secara pribadi.
Menjaga keikhlasan dan kepasrahan yang total kepada Illahi bukanlah hal yang mudah. Terutama karena secara sunnatullah kita memiliki kalbu yang sering berbolak-balik. Pada keadaan tertentu berbuat ikhlas dan pasrah terasa mudah, sedang pada keadaan yang lain terasa berat sekali.
Selain itu, kondisi dan situasi tempat kita bekerja dan berinteraksi sehari-hari tidak jarang menyeret kita pada keadaan terlalu bergantung pada logika dan hitungan matematika dunia.
Sebagai contoh, pada suatu masa di tahun 2000-an di ujung bulan, atau di ”tanggal tua”, kita para PNS biasa menyebutnya, suami saya berpesan sebelum saya berangkat ke UM, ”Dik, nanti kalau dapat rezeki, tolong beli makanan untuk pak satpam ya.”
Kontan saya menjawab, ”Lha kan PNS sudah jelas, gajiannya nanti tanggal 1.” Bagaimana mungkin dalam kondisi tanggal tua saya diajak ikhlas beramal? Logika nalar saya sulit membayangkan turunnya rezeki berupa ”uang cash” di tanggal tua seperti itu.
Namun, suami mengingatkan untuk pasrah dan ikhlas. ”Kan kalau dapat rezeki. Mau dapat rezeki apa tidak?”.
Karena sehari-hari saya mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, bahasa yang menurut ahli retorika Robert Kaplan memiliki logika lurus, straightforward, rasanya mustahil hari itu saya akan dapat cash (astaghfirullah, saya lupa dengan janji Allah bahwa selalu ada ”rezeki dari pintu yang tidak engkau sangka-sangka”).
Dan ternyata sesampainya di kampus Universitas Negeri Malang (UM), belum sempat saya masuk ke kantor saya, tanpa diduga dan dinyana, ada kolega dari jurusan lain yang memanggil saya untuk mampir ke kantor beliau dan menyampaikan amplop berisi uang sebagai bentuk penghargaan atas jerih payah saya membantu jurusan beliau pada saat mengalihbahasakan usulan hibah dua tahun sebelumnya.