HNW: Sejak Awal Pancasila Menyerap Keberagaman
Mengatasi Terorisme, Radikalisme dan Separatisme dengan Memahami Pancasila secara Benar
Tapi sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, atau bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 H, atau menjelang sidang BPUPKI untuk pengesahaan UUD 1945 , datanglah utusan dari Indonesia Timur yang dipimpin Latuharhari melalui Mohammad Hatta menyampaikan keberatan dengan Sila I Pancasila itu.
Setelah melakukan perundingan, akhirnya keberatan itu diterima, sehingga Sila I Pancasila itu berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila I ini menunjukkan adanya relasi antara negara dan agama.
“Jadi, sejak awal Pancasila menyerap keberagaman yang luar biasa,” ungkap Hidayat.
Karena Pancasila pula, lanjut Hidayat, negara Indonesia tetap utuh, tidak pecah. Meski ada reformasi Indonesia tetap utuh. Bandingkan dengan negara Uni Soviet. Sebagai negara yang sangat maju, adikuasa, intelijennya sangat kuat, dan ekononomi juga maju, tapi Uni Soviet bisa hilang dan pecah menjadi 10 negara pada 1990-1991. Itu terjadi pada 1990-1991 ketika Presiden Uni Soviet, Michail Gorbachev, melakukan reformasi di negaranya, yang dikenal dengan istilah Glasnost dan Perestroika.
Kenapa Uni Soviet bisa bubar? Karena ideolgi mereka, yaitu komunisme, datang dari luar sehingga tidak mampu mempersatukan negara-negara di bawah Uni Soviet. Sedang Pancasila dihasilkan atas dasar kesepakatan.
“Maka, meski punya potensi untuk pecah, saat Reformasi, Indonesia tetap utuh," papar Hidayat.
Terkait terorisme dan radikalisme, lanjut Hidayat, tidak bisa diatasi hanya dengan pendekatan kekuasaan negara. Misalnya, membuat aturan melarang mahasiswi bercadar, karena dikaitkan dengan terorisme dan radikalisme. Padahal cadar hanyalah persoalan menutup aurat bagi kaum perempuan muslimah.