IKADIN: UU Ketinggalan Zaman, Penagihan Utang Berbau Otoriter
jpnn.com, JAKARTA - Rangkaian IKADIN Legal Update ditutup dengan Focus Group Discussion (FGD) bertema "Mengungkap Misteri Piutang Negara melalui Pendekatan Multidimensi" di Menteng, Jakarta, Rabu (18/9).
Dalam diskusi ini, Ketua Umum DPP IKADIN, Dr. Maqdir Ismail menyoroti permasalahan penagihan piutang negara yang dinilai sudah ketinggalan zaman dan berbau otoriter.
Maqdir mengkritisi pelaksanaan penagihan utang negara yang sering kali merugikan masyarakat, terutama dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dia menekankan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum terkait piutang negara.
"Masyarakat dituntut untuk taat pada hukum, tetapi di sisi lain pemerintah sering kali mengabaikan kewajiban mereka," ujar Maqdir, dalam keterangannya, Kamis (19/9).
Maqdir juga mengkritisi penggunaan aset jaminan yang tidak dihitung untuk mengurangi utang, serta penegakan hukum yang dirasakannya tidak adil bagi warga negara.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar, Dr. Rafael Tunggu menyuarakan kritik terkait kesewenang-wenangan pemerintah dalam menagih utang. Menurutnya, penggunaan instrumen hukum publik dalam penagihan utang menunjukkan penyalahgunaan wewenang.
"Penilaian pelanggaran perjanjian seharusnya dilakukan di pengadilan, bukan oleh pemerintah," tegas Rafael. Hal ini menyoroti praktik yang dinilai melanggar asas pacta sund servanda dalam hukum perdata.
Dr. Dian Puji Simatupang dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menyoroti keusangan Perppu No. 49 Tahun 1960 yang menjadi dasar penagihan utang negara. Dia berpendapat bahwa regulasi ini sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum keuangan saat ini.