Importer Happy jika Wajib Pakai Rupiah
jpnn.com - JAKARTA - Imbauan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung terhadap kewajiban transaksi menggunakan rupiah di pelabuhan direspons positif oleh para importer.
Sebab, selama ini importer sesungguhnya juga sangat kesulitan mencari dolar lantaran minim suplai. Apalagi, volatilitas dolar AS (USD) dengan kecenderungan menekan rupiah membuat importer tidak serta-merta bisa menaikkan harga jual produknya.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita mengungkapkan bahwa selama ini mayoritas transaksi di pelabuhan sudah menggunakan mata uang rupiah. Namun, besaran tarif yang harus dibayar masih ditetapkan dalam rate dolar AS.
"Bayarnya sudah pakai rupiah. Tapi, memang rate-nya masih dalam dolar. Kita tinggal hitung saja kursnya berapa saat itu, itu yang kita bayar," ungkapnya.
Zaldy menambahkan, kondisi fluktuasi rupiah yang tidak menentu bisa menjadi keuntungan bagi operator pelabuhan. Namun, itu berbanding terbalik dengan kesulitan yang dialami pengguna jasa pelabuhan.
"Biaya yang dikeluarkan untuk THC (terminal handling charges) itu per tahun USD 700 juta untuk Pelabuhan Tanjung Priok saja, tinggal dikalikan berapa kalau dirupiahkan," ungkapnya.
Oleh sebab itu, menurut Zaldy, dengan diberlakukannya UU No 7/2011 yang secara tegas menyebutkan bahwa semua transaksi di pelabuhan harus menggunakan mata uang rupiah, pihaknya sangat mendukung.
Pasalnya, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terjadi saat ini kurang baik dan menyulitkan para pengguna jasa pelabuhan. "Saya sangat mendukung penggunaan rupiah," tegasnya.
Direktur Eksekutif Gabungan Importer Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Bambang S.N. mengatakan, transaksi menggunakan dolar AS di pelabuhan memiliki dampak yang signifikan terhadap importer.
Walaupun pembayaran tersebut tidak dilakukan secara langsung, itu berpengaruh kepada total cost alias biaya produksi importer.
"Pelindo membebani pengguna jasa pelabuhan untuk pos-pos transaksi tertentu dalam dolar. Misalnya, container handling charge. Nah, karena ongkos tersebut dibayar oleh pemegang kuasa dari importer, contohnya forwarder, importer juga ikut menanggung beban pos yang cukup tinggi," ungkapnya kepada Jawa Pos.
Padahal, dia mengakui bahwa mendapatkan dolar di pasar saat ini bukan perkara mudah. Lebih-lebih bagi importer-importer yang pelabuhannya tidak berada di kota besar sehingga persediaan valas terbatas. Karena itu, pihaknya sangat mendukung pembayaran dalam pos-pos yang ditentukan otoritas pelabuhan tersebut menggunakan rupiah.
"Alasanya menggunakan dolar karena investasi Pelindo pakai dolar. Pinjaman luar negeri dan modal dasarnya juga menggunakan dolar. Padahal, pelabuhan di Singapura, Malaysia, dan Hongkong menggunakan mata uang lokal," jelasnya.
Penggunaan valas pada pembayaran di dalam negeri itu mendapat teguran keras dari Bank Indonesia (BI). Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, UU Mata Uang yang mengatur transaksi menggunakan rupiah, baik tunai maupun nontunai di NKRI, harus dipatuhi oleh penduduk di Indonesia.