Industri Tolak Kenaikan TDL
Kamis, 31 Juli 2008 – 11:17 WIB
’’Semua asosiasi menolak rencana kenaikan itu. Kita kan sudah sepakat untuk digeser (jam kerjanya),’’ ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Djimanto.
Sebagai contoh, dia minta lampu-lampu papan reklame dimatikan ketika malam karena tidak produktif. Selain itu, pihaknya meminta kantor-kantor pemerintah lebih tegas menghemat listrik. ’’Kalau malam sampai pagi biasanya lampu-lampu taman atau teras di kantor pemerintah sering masih hidup. Itu kan konsumsinya cukup besar karena ada ribuan kantor pemerintah di seluruh Indonesia,’’ lanjutnya.
Sebelumnya, PLN mengusulkan penyesuaian tarif listrik untuk industri hingga mendekati harga keekonomian produksi. Yakni, Rp 1.300 per kilowatt hour (Kwh). Saat ini sebagian besar pelanggan industri masih menikmati tarif listrik bersubsidi, yakni Rp 600 per Kwh. PLN tidak mematok harga mati di Rp 1.300 per Kwh, tapi tetap meminta pemahaman kalangan industri bahwa pihaknya memang mengalami kendala penyediaan listrik.
Dia menambahkan, di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Tiongkok, atau Filipina, tarif listrik industri justru lebih rendah dibanding sektor lain. Tarif listrik tinggi justru dibebankan untuk tempat-tempat yang tidak produktif. ’’Di Indonesia cara berpikirnya terbalik, industri justru diperas habis,’’ cetusnya.
Dalam pandangan pemerintah, tarif listrik yang tinggi untuk industri bisa dibebankan pada harga produk. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia dikenal bertopang pada sektor konsumsi. Namun, Djimanto tidak sependapat dengan pendekatan itu. ’’Kan tidak selamanya konsumsi tinggi. Ada sebagian industri yang sensitif terhadap harga. Saat bertemu PLN, kita minta wacana kenaikan TDL dilakukan setelah Lebaran,’’ tegasnya.
Alasannya, agar inflasi terjaga menjelang Idul Fitri. Dengan begitu, masyarakat tidak terlalu terbebani dengan harga-harga yang melonjak tinggi. Selain itu, kenaikan pasca Lebaran berguna untuk melihat efektivitas SKB lima menteri tentang pengalihan jam kerja.