Ingat, Jangan Bawa-Bawa Foto Jokowi untuk Kampanye Pilkada
jpnn.com - JAKARTA - Pengajar hukum tata negara di Universitas Jember (Unej), Bayu Dwi Anggono mengingatkan Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan sikap tegas untuk melarang penggunaan foto atau poster bergambar dirinya dalam kampanye pilkada. Menurut Bayu, langkah itu penting demi menjaga posisi dan kredibilitas presiden yang beken disapa dengan panggilan Jokowi itu.
Bayu yang juga direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Unej itu mengatakan, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Dalam konteks itu, katanya, presiden memiliki tanggung jawab untuk menyukseskan penyelenggaraan Pilkada secara jujur, adil dan demokratis.
Ia menegaskan, presiden justru harus menampilkan diri ke publik dalam posisi netral atau tidak terlibat dalam dukung-mendukung pasangan calon tertentu di pilkada. Bayu pun mewanti-wanti agar poster atau foto Presiden Jokowi tidak digunakan untuk kampanye pilkada.
“Dengan terpasangnya gambar presiden di bahan-bahan kampanye pasangan calon tertentu maka akan menurunkan kualitas presiden dari figur pemersatu milik semua rakyat, menjadi figur partisan pendukung pasangan calon tertentu,” ujar Bayu melalui layanan pesan singkat, Senin (5/9).
Ia juga mengingatkan ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada pasal 71 ayat (1) UU itu sudah diatur tentang larangan bagi pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri bahkan lurah atau kepala desa untuk membuat keputusan ataupun bertindak yang menguntungkan maupun merugikan pasangan calon tertentu.
Bayu juga mengingatkan bahwa ada sanksi bagi pelanggar Pasal 71 ayat (1) UU Pilkada. Yakni pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200 juta atau paling banyak Rp 1 miliar.
Selain itu Bayu juga punya kekhawatiran lainnya. Ketika ada calon yang merasa tak didukung presiden ternyata memenangi pilkada, maka ada kemungkinan kebijakannya sebagai kepala daerah akan berseberangan dengan kebijakan pemerintah pusat.
“Kondisi ini tentunya akan menghambat tercapainya tujuan pembangunan kesejahteraan di daerah. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mensyaratkan adanya sinergi pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” tegasnya.