Ini 7 Organisasi dan Lembaga yang Tidak Setuju Pelabelan BPA
Menurut Evita, Kemenko Perekonomian pernah membuat Focus Group Discussion (FGD) terkait perlu tidaknya pelabelan BPA pada 27 Januari 2022 lalu dengan menghadirkan seluruh stakeholder. Ada tiga solusi alternatif yang diputuskan dalam FDG itu.
Pertama, agar disusun sebuah pedoman teknis penggunaan kemasan mengandung BPA yang benar dan meningkatkan edukasinya ke masyarakat. Solusi kedua adalah parameter BPA itu dimasukkan saja dalam syarat mutu SNI AMDK yang berlaku wajib.
Kemudian yang ketiga, semua AMDK yang berbahan polycarbonat maupun non polikarbonat yang memenuhi ketentuan migrasi BPA dan limit of detection dapat memasang label yang AMDK tersebut aman dikonsumsi.
Senada dengan Kemenko Bidang Perekonomian, Kemenperin juga tidak setuju dengan wacana pelabelan BPA ini. Kemenperin mempertanyakan adanya wacana tentang rencana BPOM yang akan mengeluarkan kebijakan soal pelabelan BPA ini.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, mengatakan perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.
Misalnya, kata Edy, harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
“Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya.
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen.