Ini Kisah Hidup Pak Sutopo, Rela Tinggalkan Cita - Cita demi Jadi Pembawa Kabar Bencana
Saya baru tahu, kadang ada wartawan yang kecele nunggu BBM dari 'gebetannya' ternyata datangnya malah broadcast dari saya juga. Soal bencana pula. Ya gimana saya kan harus kirim informasi itu.
Kesulitannya kalau pakai BBM, saya enggak bisa share foto ke banyak orang. Kalau satu-satu kan ndak bisa, kontaknya ada 1000 lebih.
Pihak Blackberry sendiri enggak nyangka bahwa produk mereka ini bisa membantu saya memberi kabar bencana, untuk membantu kemanusiaan. Dia pernah ngambil profil saya untuk expo blackberry sedunia di Amerika.
Waktu saya di Global Platform, pertemuan kebencanaan dunia, jadi narasumber. Saya ceritakan pengalaman saya, termasuk memberi kabar bencana melalui BBM. Mereka tidak bisa, karena BlackBerry di negara lainkan sedikit.
Dalam kejadian bencana, kami tidak mungkin menunggu data harus lengkap semua baru dikirim informasinya. Jadi kadang salah sedikit tetap kami kirimkan dulu pada wartawan. Namanya bencana masa panik. Nanti setelah itu baru kami update terus.
Bencana datang tidak kenal waktu, punya waktu libur?
Bencana bisa terjadi kapan saja. Anehnya hampir setiap Sabtu-Minggu. Saya yakin teman-teman wartawan susah cari informasinya. Ya udah saya buat. Saya enggak pernah libur. Ini saya boleh bilang, harus hobi, harus panggilan jiwa. Media kan klien saya, mereka bisa membutuhkan saya kapan saja. Media kan mampu membantu kesiapsiagaan masyarakat saat bencana. Saya sejak jadi PNS ndak pernah cuti. Kalau Lebaran, pas ada bencana ya tetap saya carikan datanya.
Saya kadang kalau lama enggak broadcast malah dicari wartawannya. 'Pak, ada berita apa, pak sakit ya atau di luar negeri? Kok enggak pernah broadcast'. Ada juga wartawan yang marah ke saya, dikiranya saya menghapus kontak BBMnya. Saya bilang, itu karena handphone saya rusak. Ringtone handphone saya kencangkan sampai full volume, 10 jadi kalau ada yang hubungi saya bisa segera respon.