Interkoneksi Persoalan Sederhana, tak Perlu Libatkan KPK
“Akan heboh jika yang diangkat ke media adalah penurunan dari Rp 240 miliar ke Rp 100 miliar atau ada selisih penerimaan sementara sebesar Rp 140 miliar; lalu dibilang operator A rugi Rp 140 miliar akibat turunnya tarif interkoneksi. Padahal yang terjadi adalah penurunan surplus interkoneksi sebesar Rp 20 miliar saja,” tegasnya.
Nonot juga mempertanyakan apakah surplus Rp 20 miliar itu patut diklaim sebagai keuntungan, karena sesungguhnya ini adalah biaya tambahan (biaya off-net) yang harus dibayar oleh pelanggan untuk bisa menelepon ke pelanggan operator lain.
“Sungguh berbahaya menuduh atau melontarkan isu kerugian negara dalam hal interkoneksi. Padahal yang dinyatakan sebagai angka kerugian itu adalah beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk sekadar bisa tersambung ke pelanggan dari operator yg berbeda,” paparnya.
Terkait hal ini, lanjut Nonot, amat menarik wacana SKA (sender keep all) yang digalang operator, karena jika benar SKA dijalankan maka heboh interkoneksi akan langsung berakhir.
Sebab, dengan SKA berarti biaya interkoneksi adalalah nol.
“Evaluasi berkala biaya interkoneksi itu bisa dianalogikan dengan operasi pasar. Jika harga terlalu tinggi maka pemerintah harus memaksa turun harga demi masyarakat. Tidak bisa pedagang mengatakan pendapatan saya berkurang, lalu menggugat regulator telah menyebabkan kerugian pendapatan,” ucapnya.(rl/sam/jpnn)