Interpreter Andalan Pemkot Surabaya Farah Andita Ramdhani
Tolak Gaji Lebih Besar karena Ingin MengabdiFarah yang saat itu menunggu wisuda strata satu Jurusan Sastra Inggris Universitas Airlangga tidak menyangka hari itu bakal menjadi awal babak baru dalam karirnya. Kemudian dia berulang-ulang diminta menjadi penerjemah. Lulus kuliah, dia pun melamar menjadi tenaga kontrak di Pemkot Surabaya pada 2010. Tahun lalu dia resmi diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan bertugas di sub bagian kerja sama luar negeri.
Farah mengatakan mantap menjadi abdi negara meski tahu betul bahwa seorang interpreter punya peluang lebih bagus di perusahaan swasta, terutama dari segi finansial. Ada satu hal yang membuat dia begitu sadar pada posisinya saat ini.
Perkara diplomasi dua negara yang berbeda bahasa itu bukan hal remeh temeh. ”Kalau semua orang yang hebat bekerja di swasta, bagaimana pengelolaan pemerintahan negara,” ujarnya tentang alasan dirinya tetap mau bertahan menjadi PNS.
Bukan perkara mudah menjaga kemampuan dalam berbahasa. Farah rajin mengasah kemampuan dengan membaca artikel dan berita berbahasa Inggris. Isu-isu terkini terkait dengan Surabaya dan Indonesia yang masuk dalam pantauan dunia dia ikuti dengan cermat. Kemampuan dialeknya juga dilatih tiap hari lantaran kerap menerima telepon dari kedutaan atau luar negeri. ”Tiap hari bahasa Inggris saya terpakai,” ujar Farah.
Dia menghadapi tantangan besar saat menjadi interpreter bagi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Farah harus mengimbangi kemampuan bahasanya untuk menerjemahkan konsep-konsep pembangunan Kota Surabaya seperti yang ingin diwujudkan Risma.
Sering kali Farah sulit menerjemahkan konsep yang kadang dijelaskan dengan begitu detail. Dia tahu betul Risma adalah mantan kepala badan perencanaan pembangunan kota (bappeko) yang paham seluk-beluk urusan kota. Mulai hulu sampai hilir. Risma juga merupakan alumnus Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Sementara itu, Farah bukan orang teknik. Alumnus SMAN 1 Sidoarjo tersebut melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Inggris Universitas Airlangga. ”Itu memacu saya untuk terus belajar. Kadang saya ke bappeko juga untuk belajar tentang perkembangan kota,” tambahnya.
Meski demikian, kadang dia masih menemukan kata-kata yang sulit untuk dicari padanannya. Sebut saja istilah tandon air. Saat menerjemahkan kata itu, dia menggunakan istilah tempat atau wadah penyimpanan air.