Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Jika Keluarga "Terlalu Banyak" yang Muslim, Satu Diminta Jadi Nasrani dan Sebaliknya

Minggu, 19 Juli 2015 – 06:57 WIB
Jika Keluarga "Terlalu Banyak" yang Muslim, Satu Diminta Jadi Nasrani dan Sebaliknya - JPNN.COM
Ilustrasi.

Coba bandingkan dengan di Jawa. Jangankan untuk mengucapkan selamat Natal, wacana Islam Nusantara saja sudah menjadi kontroversi hebat. Dalam konteks toleransi dan kerukunan umat beragama, Jawa jauh tertinggal dari Indonesia Timur. 

Karena itu, ketika krisis tersebut meletus di sebuah kota terpencil di Papua, lalu menjadi berita utama banyak media, banyak warga Papua yang marah. Sebab, mereka merasa seolah menjadi suku barbar yang tidak beradab dan suka menyerang saat saudaranya salat. 

Pertanyaannya, dengan tingkat toleransi masyarakat yang menganggap agama adalah persaudaraan, mengapa masih terjadi konflik seperti di Tolikara? Selalu ada dua penyebab dalam tiap konflik. Salah satunya adalah faktor eksternal. Yakni, konflik didesain oleh pihak-pihak tertentu. Hal itu memang sudah terlihat dari sejumlah konflik besar di Indonesia Timur sejak 1999. 

Namun, tentu tidak bisa menyalakan api di jerami yang basah. Meski mempunyai tingkat toleransi beragama yang besar, tetap saja susunan sosial masyarakat di Indonesia Timur, khususnya Maluku dan Papua, masih rapuh. Bukti paling nyata, selalu ada pemuda-pemuda -yang nyaris tidak punya pekerjaan dan tidak punya penghasilan- yang berkumpul, minum minuman keras, dan lantas melakukan hal-hal yang kerap tidak baik.

Perkelahian antar pemuda, antarkampung, atau antarsuku kerap terjadi karena para pemuda. Itu pun disebabkan masalah yang sangat sepele. Misalnya, senggolan di pentas musik atau hanya karena saling pandang. Selain itu, para pemuda tersebut umumnya masih menganggap dirinya anak adat sehingga mudah diprovokasi untuk melakukan sesuatu.

Jangan hanya karena Tolikara lantas semua orang Papua dianggap barbar dan tidak punya empati beragama. Papua sangat luas. Jika disamakan dengan di Jawa, skala Tolikara mungkin setingkat kecamatan di kabupaten paling terpencil.

"Kami memang masih mempunyai masalah sosial. Tetapi, jangan seret kami seperti yang terjadi di Ambon," tegas Achmad Hindom, Warnemen (wakil ketua kampung) dari Petuaan Fatagar. (*/c5/sof)

Konflik berdarah di Tolikara, Papua, membuat kawasan lain berjaga-jaga. Mereka menganggap penyebab konflik itu bukan murni agama. Yang paling dikhawatirkan

Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News