Jualan Sabu Demi Kuliah Anak di Kedokteran, Sedih, Menangis
“Penghasilan saat ini sangat minim. Kalau sepi ya kisaran Rp5 juta-an sebulan. Dan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membayar kasbon yang menumpuk. Bapak saya juga belum panen, musim panen cengkeh belum tiba. Setiap bulan saya harus mengirimi anak sejumlah Rp 2 juta untuk keperluannya di Surabaya. Itupun dibantu oleh bapak saya,” terangnya.
Sambil duduk dan melipat tangannya, dia menceritakan awal mula mengenal barang haram. Bermula dari pertemuan beberapa tahun silam di Kuta dengan seorang yang bernama Maskur.
Lama terpisah, akhirnya keduanya bertemu lagi hingga pihaknya memutuskan menawari Maskur untuk menginap di kosannya. Pasalnya, menurut cerita Maskur, dia harus bolak-balik Negara ke Denpasar karena tak punya kos.
“Dulu pernah ketemu sebagai supir. Saya sebenarnya takut nyentuh barang tersebut karena kepepet ekonomi dan tergiur akhirnya saya pilih jalan itu,” ungkapnya lirih.
Pada pertemuan ketiga, Maskur sengaja main ke kosnya. Lalu dia diajak ke kafe untuk minum dan dikenalin dengan bosnya Maskur.
Perbincangan melalui telepon mengarah tawaran kerja sama dengan berbagai iming-iming uang yang akan diterimanya.
“Awalnya tidak tahu. Saya hanya disuruh mengambil barang dan menempel sisanya dengan upah Rp50 ribu per alamat. Baru saja selesai 12 alamat yang saya tempel di wilayah Sesetan dan Teuku Umar. Setelah semua selesai saya dijanjikan mendapat bonus Rp2 juta,” jelasnya.
Baru 20 hari bekerja sebagai kurir, tak dapat hasil. Bonus yang dijanjikan uang sebesar Rp2 juta hangus. Total upah sekitra Rp3,25 juta tidak jadi diterimanya.