Kalau Ada Jatah-jatahan, Bukan Koalisi Tanpa Syarat
jpnn.com - JAKARTA - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, ada sisi positif dan negatif dari pengumuman komposisi menteri yang disampaikan Jokowi-JK di rumah transisi.
Hal yang harus diapresiasi adalah munculnya pola pikir baru dari pasangan Jokowi-JK dalam menetapkan figur menteri.
"Yang terpenting bukan hanya nama, yang penting dimatangkan dulu adalah struktur," kata Totok, sapaan akrab Yunarto, kemarin.
Pola ini, kata Yunarto, berbeda dengan yang dilakukan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Terutama saat reshuffle kabinet Indonesia Bersatu jilid II, dimana posisi kementerian menyesuaikan dengan figur yang akan mengisinya.
Sebagai contoh, perubahan nama Kementrian Pariwisata demi mengakomodasi Marie Elka Pangestu, serta ditambahkannya posisi sejumlah wamen.
"Kemarin sudah lebih baik. Ada proses merger, perubahan nama sesuai nomenklatur," ujarnya.
Namun, satu hal yang patut disayangkan adalah jumlah kursi yang diberikan untuk profesional dan parpol. Logikanya, mengenai seleksi menteri, seharusnya aspek kualitatif lebih penting dibandingkan perhitungan kuantitatif.
"Kalau sudah diberi jatah, ini bukan koalisi tanpa syarat lagi. Bagaimana kemudian kita bisa menilai apakah Jokowi konsisten atau tidak tentang kabinet profesional," ujarnya.
Tolok ukur dari komposisi yang disampaikan Jokowi, kata Totok, akan terlihat pada hasil akhir nanti. Akan ada dua indikator yang dipertaruhkan Jokowi dalam komposisi yang dia umumkan.
"Apakah para menteri memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, organisasi yang berkorelasi. Kedua, indikatornya, pimpinan parpol di level eksekutif akan mundur (jika jadi menteri). Kalau dua indikator terpenuhi, ini tradisi baru," kata Totok. (bay)