Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (3-Habis)
Bimbang Tentukan Siapa Yang Tanda Tangan TeratasSelasa, 14 April 2009 – 06:42 WIB
Memang, perjuangan Wan Li tidak mulus. Harian terbesar milik partai komunis Ren Min Ri Bao mulai mempersoalkan bahwa da bao gan sangat membahayakan negara. Tapi, seirama dengan semakin menangnya kubu Deng Xiaoping, akhirnya diputuskanlah kebijaksanaan nasional ini: sistem pertanian komunal diakhiri. Petani boleh mengelola tanah secara sendiri-sendiri. Negara lalu membagi-bagi tanah komunal itu ke masing-masing petani dengan sistem sewa untuk jangka waktu 30 tahun. Sewa itu bisa terus diperpanjang lagi setiap 30 tahun. Wan Li sendiri di kemudian hari posisinya sangat kuat, bahkan sampai menjadi ketua DPR pusat. Kini Wan Li sudah pensiun, tapi tetap dihormati sebagai tokoh utama di Tiongkok.
Sejak itulah pertanian di Tiongkok sangat maju. Petani juga kian makmur. Namun, karena hasil pertanian melimpah, akibatnya harga hasil bumi terus menurun. Penghasilan petani tidak seimbang lagi dengan harga-harga kebutuhan lain. Lama-lama petani tidak kuat lagi membayar sewa tanah dan pajak-pajak lain. Kebutuhan petani juga kian banyak: menyekolahkan anak, membangun rumah, membeli TV, kulkas, rice cooker, dan seterusnya.
Perjuangan petani Xiao Gang memang berhasil. Tapi, sampai tahap tertentu nasib petani ternyata kembali miskin. Terutama bila dibandingkan dengan perkembangan kemakmuran di kota. Di mana-mana mulai timbul persoalan sosial. Pemerintah pun tanggap. Dua tahun lalu pemerintah memutuskan petani tidak perlu lagi membayar apa pun: baik sewa tanah maupun pajak pertanian. Bahkan, sekarang petani mendapat BLT Rp 50.000 per bulan per jiwa yang dikirim langsung ke ATM mereka. Ditambah diskon harga 50 persen untuk setiap pembelian barang apa pun yang menggunakan listrik. Tujuannya agar di masa krisis ini pabrik-pabrik di sana tetap hidup dan tidak mem-PHK karyawan mereka. (*)