Kemenag dan MUI Berebut Stempel Halal
jpnn.com - JAKARTA - Perdebatan tentang kewenangan pengelolaan sertifikasi produk halal antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama (Kemenag) masih alot. Kedua pihak masih merasa paling pas untuk mengelola sertifikasi produk halal itu.
Menag Suryadharma Ali (SDA) menyangkal adanya kisruh hak pengelolaan sertifikasi produk halal antara Kemenag dan MUI. “Yang terjadi adalah perdebatan. Khususnya terkait dengan pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH, Red),” kata SDA Senin (3/3).
Menurut SDA, MUI memiliki konsep bahwa pencatatan atau pelabelan halal adalah wajib. Alasan MUI, label halal itu dapat memenuhi hak konsumen.
Sementara itu, pemerintah menyebut hanya sukarela. Alasan pemerintah, pewajiban pelabelan halal tersebut dikhawatirkan memukul pelaku usaha kecil dan mikro. “Usaha-usaha kecil akan tersandung permasalahan hukum karena tidak memiliki label halal,” kata menteri yang juga ketua umum PPP itu.
Akibatnya, kata SDA, ke depan usaha kecil dan mikro bisa jadi memilih gulung tikar. “Kemenag tidak mau gara-gara aturan tersebut, roda ekonomi terganggu,” jelas SDA.
Perdebatan berikutnya adalah siapa yang berhak mengeluarkan sertifikat label halal. Perdebatan saat ini mengarah pada pemerintah atau MUI yang menjalankan pelabelan itu. Posisi saat ini, kata SDA, pemerintah berpendapat, pihaknya yang berhak. Sebaliknya, MUI mengklaim hal serupa.
SDA mengatakan, pemerintah merasa paling berhak menangani sertifikasi halal karena berposisi sebagai pelaksana UU. Pemerintah juga memandang bahwa MUI adalah organisasi massa (ormas). Jika nanti MUI ditetapkan sebagai pelaksana pelabelan halal, bisa timbul kecemburuan di ormas-ormas yang lainnya.
Menurut SDA, bila pelabelan halal ditangani pemerintah, peran MUI tetap ada. Di antaranya, MUI yang mengeluarkan rekomendasi halal atau tidak terhadap produk tertentu. Tetapi, badan pengujinya ada di bawah komando pemerintah.