Kemenkes Ungkap Fakta Mengejutkan soal Nyamuk Wolbachia & Kasus Covid-19
Adapun intervensi pada vektor misalnya menggunakan zat kimia seperti abate untuk larvasida, dan fogging atau obat semprot sebagai insektisida.
“Intervensi vektor yang ketiga yaitu dengan teknologi nyamuk ber-Wolbachia karena telah terbukti bahwa penyebaran nyamuk A. aegypti ber-Wolbachia memberikan dampak positif bagi penurunan kasus dengue,” terang Imran.
Dia menjelaskan pilot project nyamuk ber-Wolbachia dilakukan di Yogyakarta. Hal ini ditempuh sebelum melakukan penelitian tersebut dalam skala besar.
"Kami melakukan pengkajian selama enam bulan yang melibatkan 20 ahli dari berbagai bidang termasuk di antaranya bidang virologi, mikrobiologi, ahli serangga, ahli biodiversitas, dokter anak, psikologi, hingga ilmu sosial,” jelas Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat & Keperawatan UGM dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH, Ph.D.
Berdasarkan literature review dan kajian lain, disimpulkan bahwa kemungkinan risiko yang bisa terjadi adalah paling rendah, yang biasa ditemukan sehari-hari dan bisa diabaikan, apalagi nyamuk ber-Wolbachia bukanlah rekayasa genetika.
“Untuk menyangkal hal ini, bisa merujuk dari berbagai website resmi. Misalnya CDC, mereka secara tegas menyatakan bahwa nyamuk ini bukanlah nyamuk rekayasa genetika. EPA juga menjelaskan dengan tegas bahwa pada nyamuk, ada dua macam teknologi: nyamuk yang diinfeksi dan genetic-modified mosquito,” jelas Doni, sapaan akrabnya.
Wolbachia adalah bakteri alami yang biasa hidup dalam tubuh serangga, tidak mengubah karakter nyamuk dan juga tidak merusak lingkungan. Tidak terbukti bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia meningkatkan populasi nyamuk cullex.
Sebaliknya, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Yogyakarta terbukti menurunkan insiden dengue 77% dan menurunkan kejadian rawat inap di RS hingga 86%. Rerata angka dengue nasional pun menurun drastis dibandingkan 30 tahun lalu.