Kena Krisis, Indonesia 'Nyandu' Impor
Rabu, 10 Desember 2008 – 17:09 WIB
JAKARTA--Sektor industri di Indonesia dinilai rapuh dan tidak ada yang kokoh. Hal itu terlihat dari tingginya tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor sehingga ketika krisis global di Amerika Serikat dan Uni Eropa ikut menghantam ketahanan industri. "Ketahanan industri kita rapuh, konsep sektor industri kita juga kacau balau dan tidak sesuai konsep dari hulu ke hilir. Apa-apa kita impor, malah jagung, kedelei, dan garam saja kita harus datangkan dari luar negeri. Ini kan sangat ironis," tukas anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Edwin Kawilarang, Rabu (10/12).
Anggota panitia Ad Hoc IV asal Sulawesi Utara (Sulut) ini menambahkan, dari impor kedelai, jagung dan garam itu, setiap tahunnya Indonesia harus merogoh kocek negara sekitar Rp 25 triliun setiap tahunnya. "Ini kan namanya pemborosan, dikemanakan itu Departemen Pertanian. Kerjanya apa saja sampai bahan pertanian seperti itu harus diimpor. Yang begini ini buat Indonesia tambah terpuruk," kritiknya.
Sumber pangan negeri ini melimpah di mana tiap tahun petani menghasilkan pangan sumber karbohidrat 31 juta ton beras, 19 juta ton singkong, 1,8 juta ton ubi jalar dan jagung 12 juta ton. Sumber pangan protein juga melimpah seperti ayam, daging sapi, telur, susu dan ikan. Ia justru cemas pada cara pandang yang salah terhadap pangan. "Pikiran kita sakit. Ketahanan pangan hanya dilihat dari beras," kata Kaman.
Apabila ada warga makan singkong, sagu atau umbi-umbian dicap miskin dan kelaparan. Hakekat pangan tidak dipahami. Tubuh manusia memerlukan pangan agar tetap sehat dan produktif. Untuk karbohidrat, itu bisa dipenuhi dari beras maupun singkong, sagu dan umbi-umbian. Dari sisi pasokan, kata Kaman, pangan kita beragam. Tapi karena hampir semua perut bergantung pada beras, masalah pangan selalu muncul.
Ekologi Indonesia beragam. Padi hanya bisa tumbuh di daerah beririgasi bagus alias bukan di lahan kering. Memang, produksi beras tumbuh. Pada 2000-2006 laju produksi beras 1,2 persen per tahun, tapi lebih kecil dari permintaan 4,3 persen. Makanya, pasokan selalu jadi masalah. Apalagi, ada kecenderungan produksi melandai. Solusinya hanya satu, impor beras.
"Impor pangan Indonesia amat besar. Tiap tahun impor beras 1 juta ton, jagung 1,5 juta ton, gula 1,6 juta ton, garam 1 juta ton dan susu 70 persen dari kebutuhan nasional. Ini menguras devisa. Periode 1996-2005 misalnya, impor 10 produk pangan 14,7 triliun per tahun," tuturnya. (esy)