Keputusan MK Jadi Karpet Merah Dinasti Politik, Nia Sjafruddin: Drama Ini Harus Dihentikan
jpnn.com, JAKARTA - Aktivis antidiskriminasi Nia Sjarifuddin menilai telah terjadi kemunduran demokrasi dan dinasti politik akibat perilaku pengelolaan kekuasaan dalam pemerintahan.
Fenomena itu mencuat seusai Mahkamah Konsitusi (MK) meloloskan gugatan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun dengan catatan pengecualian sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
Nia yang juga Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI ) itu menilai hal tersebut sebagai upaya memuluskan jalan dinasti politik di Indonesia agar langkah Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024 tidak ada hambatan.
"MK itu juga sebuah agenda dari perjuangan demokrasi. Jadi, kami ingin menjaga marwah bernegara berbangsa ini sesuai dengan apa yang dicita-citakan," kata Nia yang menjadi pembicara pada Maklumat Juanda yang berjudul "Reformasi Kembali ke Titik Nol" di Jakarta Pusat, Senin (16/10).
Menurut Nia, praktik-praktik dinasti politik yang telah tumbuh dalam demokrasi tidak boleh dibiarkan terus berkembang dan harus dihentikan. Sebab, setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan.
"Bahwa apa yang kita lihat sekarang ini adalah sebuah bentuk 'karpet merah' yang berarti bukan sebuah keadilan untuk semua orang muda dalam kesempatan ini, itu yang kita lihat, jadi kami sangat mengkhawatirkan sekali kalau kita diam itu membiarkan bentuk-bentuk nepotisme yang selama ini selalu dilawan," ujar Nia.
"Artinya kita ingin menegakkan sesuai dengan konsensus Pancasila, keadilan itu untuk semua orang tidak boleh ada previlege untuk siapa pun, semua orang harus berkeringat untuk mencapai tempatnya masing-masing," imbuh dia.
Keputusan MK baru-baru ini diibaratkan layaknya sebuah drama dengan menyajikan hak istimewa bagi putra presiden. Meski masih berusia 36 tahun, tetapi pengalamannya sebagai wali kota jadi celah untuk bisa maju dalam Pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto.