Keropak Pernah Hanya Berisi Bungkus Permen dan Amplop Kosong
jpnn.com - Siapa sangka lembaga bimbingan belajar rintisan Ridwan Hasan Saputra itu kini berkembang pesat. Siapa sangka para siswanya, yang kebanyakan dari kalangan tidak mampu, berprestasi di berbagai olimpiade tingkat nasional maupun internasional. Apa kuncinya?
SEKARING RATRI ADANINGGAR, Bogor
Lembaga bimbingan belajar (bimbel) itu diberi nama Klinik Pendidikan MIPA (KPM). Menempati dua bangunan ruko bertingkat, KPM bermarkas di kompleks Taman Pagelaran, Kawasan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Meski markasnya tidak megah, klinik pendidikan itu mempunyai murid ribuan orang. Pada umumnya, siswa yang belajar di situ adalah anak-anak dari kalangan kurang mampu. Mereka tidak mempunyai dana berlebih untuk belajar di lembaga bimbel yang biayanya mahal-mahal tersebut. Karena itu, KPM menjadi tempat yang mereka butuhkan.
Selain di Bogor, KPM memiliki cabang di Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Semarang, Solo, Serang, dan Surabaya. Yang hebat, meski bayarannya sukarela, KPM sukses mengantarkan para siswanya menjadi langganan juara dalam berbagai event olimpiade matematika. Tidak hanya level nasional, tapi juga internasional.
Mulai 2004 hingga 2013, setidaknya sudah 85 medali emas, 134 medali perak, dan 251 medali perunggu berhasil diraih para siswa KPM dalam kompetisi tingkat nasional. Sedangkan tingkat internasional, siswa-siswi KPM sukses meraih 71 medali emas, 243 perak, dan 349 perunggu.
Namun, siapa sangka keberhasilan KPM itu bermula dari kotak amal atau keropak. Bila umumnya lembaga bimbel mematok tarif untuk siswa, di KPM itu tidak berlaku. Siswa tidak diwajibkan membayar jasa bimbingan yang diberikan para tutor. Pengurus KPM hanya menyediakan kotak amal di tempat belajar. Bila ada siswa yang punya uang, berapa pun jumlahnya, dan rela menyumbangkannya, siswa tinggal memasukkan dalam kotak itu. Tapi, kalau toh, siswa tidak punya uang, KPM tidak akan memaksa mereka mengisi kotak amal.
Pendiri KPM Ridwan Hasan Saputra mengakui, secara logika sangat sulit membuat KPM menjadi besar seperti sekarang, jika hanya mengandalkan kotak amal dengan isi seikhlasnya. ’’Tapi itulah yang terjadi. Semua benar-benar berasal dari kotak amal,’’ kata Ridwan saat ditemui di kantornya, Sabtu (21/6).
Ridwan mengisahkan, semua bermula ketika dirinya lulus dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1999. Dia tak langsung bekerja melainkan melanjutkan kuliah program master di kampus yang sama. Nah, di sela-sela kuliah itulah, Ridwa mengajar les privat dari rumah ke rumah.
Kala itu, pria yang memang jago matematika dan fisika itu memang mematok harga lumayan mahal untuk setiap siswa. ’’Saya dulu sombong, karena saya merasa pintar. Karena itu, saya pasang tarif yang mahal untuk mau privat ke saya,’’ ujarnya.
Tapi, ’’masa kejayaan’’ itu tidak lama. Ridwan ganti harus menghadapi berbagai cobaan yang datang bertubi-tubi. Pada Februari 2003 dia gagal masuk pegawai negeri. Setelah itu dia sakit parah. Kata dokter, Ridwan kelelahan karena berkendara ke sana-kemari untuk memberi les privat. Pendapatan dari les pun langsung turun drastis. Dia sempat putus asa.
’’Saya berpikir, kenapa saya diberi cobaan seperti ini. Saya ini orang pintar, saya juga rajin beribadah, tapi kok hidup saya seperti ini,’’ kenangnya.
Beruntung, Ridwan bisa segera bangkit. Pria kelahiran 16 April 1975 itu menyadari bahwa sebagai orang pandai, dirinya harus menyebarkan ilmu dengan ikhlas. Dari situlah tercetus ide untuk membuka bimbel dengan bayaran seikhlasnya. Dia pun bertekad melahirkan para siswa yang tidak hanya pintar namun juga berakhlak mulia. Dia lalu mengundang murid-murid privatnya ke rumah kontrakannya, mengikuti les privat dengan metode baru tersebut.
Ternyata, respons yang diterima di luar dugaan. Privat dengan metode bayar seikhlasnya tersebut malah membuat Ridwan kesulitan mendapatkan murid. Tidak sedikit yang mengira Ridwan hilang akal. ’’Saya sempat dikira orang gila. Bahkan ada yang menuduh saya pengikut aliran sesat,” ceritanya.
Bukannya tambah banyak, siswanya satu per satu meninggalkan Ridwan. Bahkan, pernah tinggal dua orang. Namun, ayah tiga anak itu tidak patah arang. Meski tabungannya terkuras habis, dia tetap bertahan dengan metode kursus berbayar sukarela itu.