Kewenangan Dewan Pertahanan Nasional Dianggap Berbahaya Bagi Demokrasi dan HAM
jpnn.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) oleh Presiden Prabowo Subianto yang dinilai tidak sejalan dengan UU Pertahanan, serta berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.
Masalah ini dibahas koalisi masyarakat sipil dalam diskusi publik di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan pada Kamis (19/12/2024), sebagai respons atas langkah Presiden Prabowo membentuk DPN dan melantik Menhan Sjafrie Sjamsoeddin menjadi ketua harian lembaga pemerintah itu.
Koalisi menilai UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara memang mengatur tentang pembentukan DPN. Namun, dalam undang-undang itu, fungsi dewan tersebut hanya sebagai lembaga penasihat Presiden dalam membantu merumuskan kebijakan pertahanan.
Koordinator Presiden BEM SI Satria dalam diskusi itu menyampaikan bahwa pada Pasal 15 UU Pertahanan disebutkan "Dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara, Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional".
Sesuai Pasal 15 UU Pertahanan Nasional, DPN berfungsi hanya sebatas penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan komponen pertahanan serta bertugas untuk menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu di bidang pertahanan.
"Namun demikian, berdasarkan Perpres Dewan Pertahanan Nasional kewenangannya menjadi sangat luas dan multi-interpretatif, yakni, 'DPN juga memiliki fungsi pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden' sebagaimana disebut dalam Pasal 3 huruf F Perpres," ujarnya dikutip dari siaran pers.
Koalisi memandang, penambahan wewenang ini tidak sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Selain itu, penambahan wewenang yang luas untuk melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Presiden sesungguhnya bersifat karet sehingga dapat menimbulkan multi-interpretasi, bahkan memiliki potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi.