Khawatir Dwi Soetjipto Muluskan Agenda Privatisasi Pertamina
jpnn.com - JAKARTA - Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng menilai keputusan pemerintah menunjuk Dwi Soetjipto menjadi Direktur Utama Pertamina merupakan langkah yang salah. Menurut Salamudin, sosok Dwi bahkan bisa membahayakan masa depan Pertamina.
Penilaian itu didasari kekhawatiran Salamudin bahwa Dwi akan memuluskan agenda privatisasi Pertamina. Sebab, Dwi saat menjadi Direktur Utama PT Semen Indonesia juga melakukan privatisasi 49 persen saham negara di BUMN pabrik semen itu menjadi milik swasta.
"Ini peringatan dari kami untuk kesekian kalinya. Cara-cara seperti ini sangat membahayakan BUMN kita. Sekarang (privatisasi BUMN, red) bisa melalui utang luar negeri dan pasar keuangan," kata Salamuddin saat diskusi bertajuk "Pertamina di Bawah Ancaman Privatisasi dan Hutang Luar Negeri" di Jakarta, Minggu (7/12).
Salamudin bahkan menduga Dwi tidak hanya menjadikan PT Semen Indonesia sebagai korban privatisasi. Sebab, Dwi juga diduga menyebabkan utang PT Semen Indonesia meningkat drastis. "Dwi meninggalkan Semen Indonesia dengan utang dan kewajiban Rp 11,476 triliun," katanya.
Karenanya Salamudin menilai keahlian Dwi dalam hal privatisasi BUMN tidak sejalan dengan visi Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla. Apalagi, rencana dan minat privatisasi perusahaan pelat merah disampaikan secara gamblang oleh Menteri BUMN Rini Soemarno sesaat setelah pengangkatan Dwi.
"Rini Soemarno memerintahkan Pertamina untuk melakukan listing terhadap utang-utang Pertamina dengan menerbitkan obligasi rupiah agar tercatat di pasar modal," kata dia.
Di sisi lain, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia, Farizal Yusra mengkritisi masuknya nama Arif Budiman ke dalam direksi PT Pertamina. Menurutnya, Arif Budiman merupakan seorang profesional manajemen keuangan yang berasal dari McKinsey, sebuah perusahaan konsultan manajemen yang bermarkas di New York.
Farizal pun sejak jauh-jauh hari sudah mengantisipasi keterkaitan Pertamina dengan McKinsey. Sebab, sejak lama perusahaan yang didirikan James O McKinsey itu sudah tahu kondisi internal Pertamina.