Khofifah dan 'Misi' yang Belum Tuntas
Oleh Zaenal A Budiyono*Ketiga, politikus dalam demokrasi politisi bisa “mati” berkali-kali. Itu ditunjukkan ketika Khofifah kalah di Pilkada 2008 dan 2013. Ia mundur sebentar dari arena, namun tidak benar-benar hilang.
Sambil berkontemplasi dan evaluasi, pada saat yang sama ia menyusun strategi berikutnya untuk arena pertarungan selanjutnya. Begitulah seharusnya seorang politisi di era demokrasi.
Menyikapi kemenangan dan kekalahan sebagai hal yang biasa saja—karena itulah meture-nya demokrasi. Yang terpenting adalah menyerap dan memegang amanat pendukungnya, untuk dijalankan di medan pengabdian di masa yang akan datang.
Keempat, Khofifah memberi contoh kepada kita tentang bagaimana menjadi negarawan di era modern. Tak perlu banyak pidato untuk menjadi profil yang demikian. Cukup tunjukkan dengan sikap nyata, maka publik akan menilainya. Bukan hanya publik, lawan dan rival juga akan segan bila kita bisa menjadi negarawan.
Itu setidaknya terlihat saat sebuah foto tersebar di dunia maya baru-baru ini, di mana Khofihah berpose dengan Presiden Keenam RI Keenam yang juga Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Soekarwo di Cikeas. Ternyata saat itu Soekarwo “mengantarkan” Khofifah bertemu SBY sekaligus menerima mandat resmi dari PD untuk Pilkada Jatim 2018.
Tak terbayangkan dua sosok yang dulu bertarung dua kali, sengit dan panas, bisa saling mendukung saat ini. Hanya jiwa kenegarawanan yang bisa menutup amarah, dendam dan sakit hati. Khofifah sedikit banyak memiliki itu.
Kini kita tunggu apakah Khofihah akan benar-benar mundur dari Mensos, posisi yang sebenarnya menempatkan dirinya di confort zone. Ataukah ia akan menjemput takdirnya sebagai politisi, bertarung dan bertarung untuk menuntaskan misi politiknya yang lama tertunda : memimpin dan memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan bagi rakyat Jawa Timur.
Tak lama lagi kita akan membaca narasi baru dari seorang Khofifah Indar Parawansa.(***)