Kisah Heroik Veteran Perang tentang Bela Negara
Meski peralatan perang yang digunakan alakadarnya, semangat mereka tak gentar. Serangan ini membuat pasukan Belanda langsung angkat kaki dari Morotai.
”Saat itu kami perang hanya menggunakan pedang dan bambu runcing. Namun di bawah pimpinan Soekarno dan Soeharto, negara ini mendapat restu dari yang Maha Kuasa. Itulah kenapa saya harus ingat mereka berdua. Jiwa besar mereka membawa negara ini keluar dari jajahan Belanda,” tuturnya.
Usai bertaruh nyawa demi negara, Dahlan merantau ke Papua. Kurang lebih 20 tahun ia mengembara di tanah asing.
Sekembalinya ke kampung halamannya di Desa Gosoma Maluku, ia tetap dikenal sebagai prajurit perang. Tapi label prajurit hanya ia sandang sebagai kebanggan pribadi. Tak ada imbalan apapun untuk gelar itu. Tak juga dari pemerintah setempat.
Setelah itu, Dahlan tetap hidup dalam kemiskinan. Bersama istrinya, ia kini menetap di Desa Wewemo. Di sebuah gubuk anyaman bambu berukuran 10x4 meter yang nyaris roboh. Hingga usia kian tergilas zaman, ia tak jua sanggup membangun sebuah tempat tinggal yang layak. Menyekolahkan anak-anaknya ke bangku pendidikan tinggi pun ia tak mampu.
Dahlan tak menyesali apa yang telah ia lakukan terhadap negara. Juga tak berharap imbalan apa-apa. Menggantungkan diri pada orang lain adalah hal yang amat ia hindari. Prinsip hidup prajurit itu masih tetap dipegangnya hingga kini.
“Saya tidak minta apa-apa. Hanya ingin ingatkan, merebut kembali tanah negara ini amat susah. Taruhannya nyawa. Jadi tanah yang sudah kita rebut, jangan dijual kepada orang yang telah menjajah negeri ini,” tegasnya.
Kakek tiga cucu ini mengaku kesal dengan kondisi saat ini. Menurutnya, Soekarno dan Soeharto merebut tanah air tujuannya untuk memberikan tempat penghidupan bagi rakyat. Namun pemerintah saat ini justru menggadaikan tanah rakyat kepada orang asing.