Kisah Jamaah Haji yang Selamat, Istri Menangis Melihat Banyak Mayat
PERUBAHAN rencana pagi itu sebenarnya agak mengagetkan Muhammad Juhdi Ibrahim. Selepas sarapan, tiba-tiba ketua rombongan mengajak saat itu juga melempar jumrah. Padahal, rencana awalnya pada sore, sekitar pukul 17.00 waktu setempat.
------------
ENDRAYANI DEWI, Mina
------------
"Saya tidak tahu alasannya kenapa. Tapi, ya akhirnya saya ikut berangkat," ujar pria 60 tahun tersebut.
Kamis itu (24/9) jamaah harus menjalani prosesi melempar jumrah. Tapi, karena jumlah jamaah pada musim haji ini mencapai dua juta orang, akses menuju Jamarat (tempat melempar jumrah) tiap hari selalu saja sangat padat.
Apalagi saat pagi. Banyak yang memilih berangkat pagi untuk mengejar waktu yang afdal untuk melempar jumrah, yakni bakda salat Duhur. Tapi, jamaah Indonesia sebenarnya sudah dianjurkan untuk melakukannya pada sore untuk menghindari kepadatan.
Kepadatan itu pula yang akhirnya ditemui Juhdi; istrinya, Sri Hayati, 50; dan rombongan kloter 14 Batam. Berangkat dari tenda pemondokan di Maktab 1 Mina Jadid, mereka melewati Jalan Arab 204 yang tidak biasa dilalui jamaah Indonesia.
"Saya tidak tahu kenapa kami lewat jalan itu. Ketua rombongan yang sudah 13 kali naik haji mengarahkan ke situ," tutur jamaah asal Pontianak, Kalimantan Barat, tersebut.
Nafas Juhdi masih terengah-engah ketika mengisahkan pengalamannya itu kepada Jawa Pos kemarin (25/9). Sesekali dia menekan dadanya, menahan sakit jantungnya. Di tengah wawancara, dia bahkan sempat minta waktu ke klinik.
Sakit itu dia rasakan dalam perjalanan menuju Jamarat sehari sebelumnya. Tepatnya ketika sekelompok jamaah yang dari tampilan fisiknya tampaknya berasal dari Afrika tiba-tiba berbalik arah. Otomatis mereka berlawanan arus dengan jamaah yang akan menuju jamarat.
Padahal, ketika itu, Jalan Arab 204 sudah penuh sesak. Jangankan berlawanan arah, arus yang menuju Jamarat pun sudah tidak bisa bergerak. Juhdi mengingat, rombongannya sampai tidak bisa melanjutkan perjalanan.